
Kota Yiwu di China timur mengizinkan warganya mengecek bila calon pasangannya memiliki 'latar belakang kekerasan' sebelum menikah.
Kota di Provinsi Zhejiang itu meluncurkan unit pemeriksaan dan mulai tersedia bagi warga setempat mulai tanggal 1 Juli.
Situs berita populer, The Paper menyebutkan mereka yang tengah bersiap menikah dapat segera mengisi formulir dan dapat segera mengisi formulir dan mengecek apakah pasangan mereka punya sejarah kekerasan, "apakah terhadap anggota keluarga atau saat masih pacaran".
Apa yang harus mereka lakukan adalah menunjukkan kartu identitas diri serta informasi pribadi dari orang yang mereka akan nikahi.
Satu orang diizinkan untuk meneliti maksimum dua orang dalam setahun, menurut laporan media setempat.
- Kisah relawan penyintas kekerasan seksual di tengah pandemi, 'Pelecehan itu kenanya di psikis, lukanya di batin'
- Dampak sosial 'berlipat ganda' bagi perempuan di masa pandemi Covid-19
- KDRT meningkat selama pandemi Covid-19: Perempuan kian 'terperangkap' dan 'tak dapat mengakses perlindungan'
Pujian di internet
Zhou Danying, seorang anggota federasi perempuan di kota itu, menyambut langkah itu dan mengatakan sistem akan melindungi perempuan di kota itu dari kekerasan rumah tangga.
Ia mengatakan kepada The Paper, data tentang kekerasan rumah tangga akan dimulai dengan menggunakan informasi yang diserahkan oleh pengadilan dan badan publik mulai 2017.
Harian China Daily juga menyebut langkah itu disambut oleh seorang profesor hukum, Han Jin, yang mengatakan sistem itu "akan melindungi hak orang untuk mendapatkan informasi tentang seseorang sebelum mereka menikah".
Sistem itu dipuji oleh pengguna sosial media China.
Banyak di mikroblog China Weibo menyerukan agar sistem itu digunakan di seluruh negara tersebut.
Sejumlah pengguna media sosial mengatakan sistem baru juga perlu mencantumkan penyiksaan anak, termasuk pemukulan dan penyiksaan fisik lain.
Kekerasan rumah tangga di China
Banyak kalangan di China yang menyerukan agar mengakui kekerasan rumah tangga terjadi di negara itu dan orang yang bertanggung jawab perlu dihukum.
Sebelum 2001, kekerasan fisik bahkan tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk bercerai. Undang-undang yang memastikan pelaku kekerasan rumah tangga dapat dihukum baru berlaku pada Maret 2016.
Kekhawatiran tentang korban kekerasan rumah tangga meningkat di tengah karantina selama pandemi Covid-19.
Situs berita Sixth Tone menyebut laporan polisi terkait kekerasan rumah tangga meningkat dua kali atau bahkan tiga kali lipat di wilayah-wilayah saat terjadi lockdown.
Bulan lalu, kekhawatiran atas korban kekerasan rumah tangga meningkat setelah China membuat peraturan yang semakin menyulitkan pasangan bercerai, dengan menerapkan masa 30 hari menenangkan diri sehingga kedua belah pihak memiliki waktu untuk berpikir kembali sebelum mengambil keputusan.
Pengguna media sosial saat itu menyuarakan kekhawatiran bahwa undang-undang itu dapat menyebabkan sebagian orang dipaksa untuk mundur dari perceraian dan para korban semakin takut untuk bersuara dan tetap terkungkung dalam kehidupan rumah tangga yang diwarnai kekerasan.
Undang-undang yang akan mulai berlaku pada awal 2021, tidak dapat diterapkan pada keluarga yang memiliki sejarah kekerasan dalam rumah tangga, namun sebagian kalangan tetap khawatir karena tidak semua kasus dapat dideteksi.