Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Covid-19: Pariwisata Bali terpuruk, rumput laut menyelamatkan warga Nusa Lembongan

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Ketika pariwisata Bali sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19, siapa sangka rumput laut bisa menjadi penyelamat perekonomian warga Nusa Lembongan, sebuah pulau sebelah tenggara Denpasar.

Di tengah terik matahari yang menyengat, Luh Widiani menjemur rumput laut. Sambil berjongkok, perempuan berusia 38 tahun itu menaruh rumput laut basah pada terpal lalu membolak-balik sebagian lainnya agar tersebar merata.

Baca Juga:

Bersama suaminya, Widiani membudidayakan rumput laut di teluk yang memisahkan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, dua pulau di sebelah tenggara Denpasar yang dapat dijangkau menggunakan kapal cepat (speed boat) sekitar 30 menit dari Sanur.

Widiani adalah pekerja vila, suaminya juga bekerja di sektor pariwisata. Namun, tanpa ada turis datang ke Bali akibat pandemi Covid-19, mereka dirumahkan pada Maret lalu.

Sejak akhir Mei, Widiani dan suaminya kembali menggeluti komoditas yang sekian lama mereka tinggalkan.

Baca Juga:

"Capeknya luar biasa, tetapi keadaan yang memaksa saya begini. Keadaan ekonomi yang membuat saya memilih pekerjaan ini," kata Widiani pada awal September lalu, sambil tetap jongkok dan meratakan rumput laut.

Saat masih bekerja di sektor pariwisata, Widiani dan suaminya mendapatkan gaji setidaknya Rp5 juta masing-masing. Kini, mereka berdua mendapat sekitar Rp 4 juta per bulan untuk semua rumput laut yang dikelola.

Jumlah itu lebih kecil. Namun, menurut Widiani, itu tetap lebih baik daripada tidak ada pendapatan sama sekali.

Andalan warga Nusa Lembongan

Rumput laut tadinya merupakan andalan warga Nusa Lembongan untuk keperluan hidup sehari-hari. Namun, seiring dengan melesatnya pariwisata sejak 2008 ketika penyeberangan ke pulau ini semakin sering, warga banyak yang beralih ke turisme.

I Nyoman Sulitra, salah satu perintis pariwisata di Nusa Lembongan, adalah saksinya.

"Mulai 2008 masyarakat lokal membangun vila. Orang-orang Lembongan berduyun-duyun bikin vila. Kalau punya uang, pasti bikin vila," kata Sulitra kepada wartawan di Bali, Anton Muhajir, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bangkitnya pariwisata dibarengi dengan kerugian yang diderita petani rumput laut. Hal ini membuat semakin banyak warga yang meninggalkan komoditas tersebut.

"Rumput lautnya murah, harganya sampai Rp3.000-Rp4.000. Kalau dihitung antara pekerjaan dan hasilnya kan tidak match ya. Lebih baik dia lari ke pariwisata mumpung pariwisata berkembang pesat. Mulai itulah pelan-pelan ditinggalkan rumput laut," paparnya.

Pendapatan nol, kembali ke rumput laut

Mantan pembantu juru masak di Bali daratan ini juga yang termasuk pulang ke Nusa Lembongan untuk membuka usaha di bidang pariwisata.

Selain vila yang dikelola bersama keluarganya, Sulitra mengelola restoran dan vila bersama teman karibnya yang kini jadi pemodal.

Mengandalkan tamu dari Eropa, terutama Belanda, uang mengalir lancar ke rekening Sulitra dan para pemilik usaha pariwisata lainnya di Nusa Lembongan.

Namun, ketika pandemi Covid-19 menghantam Bali, aliran pendapatan terhenti sama sekali.

Laut yang biasanya riuh dengan para penyelam dan penikmat snorkling, kini hanya berisi tongkang kosong. Restoran dan kafe tiada pengunjung.

Deretan sepeda motor teronggok berdebu di tempat-tempat penyewaan.

"Sekarang penghasilan tidak ada sama sekali. Susah sekarang, Pak. Aduuh. Benar-benar susah," kata Sulitra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siang itu dia sekadar memeriksa restoran dan vilanya. Satu staf yang masih masuk baru saja pamit untuk pulang. Tanpa turis sama sekali, tak banyak pekerjaan bisa dilakukan.

Sebagai wakil pemilik sekaligus manajer LGood Villa dan Restaurant, Sulitra sudah merumahkan karyawannya.

Sembilan kamar di vila milik Sulitra yang bertarif paling murah Rp1 juta per malam, kosong tanpa tamu sejak Maret lalu.

Nihil pekerjaan, Sulitra yang sebelum pandemi bisa mendulang sampai ratusan juta rupiah per bulan itu pun kembali membudidayakan rumput laut. Padahal dia sudah meninggalkan komoditas ini lebih dari 20 tahun sejak memilih fokus bekerja di pariwisata.

"Saya tidak malu. Penghasilan sekarang nol. Akan nol sama sekali kalau tidak ada rumput laut. Untungnya ada rumput laut," kata Sulitra.

Dengan modal Rp15 juta, dia membeli 450 tali bibit rumput laut dan patok.

Bersama istri dan buruh dia terjun ke laut menanam, merawat, dan memanen rumput laut jenis katoni (Kappaphycus alvarezii) dan sakul (Eucheuma spinosum) itu. Dia sudah sekali panen dengan hasil Rp 3,3 juta.

Ketika ditanya apa artinya nilai itu dibandingkan pendapatannya dari pariwisata, Sulitra menjawab dengan tertawa, "Jauh, Pak. Jauuuh..."

Dia mengaku tetap berharap pariwisata akan kembali pulih di Bali.

"Kalau disuruh memilih antara pariwisata dan rumput laut, saya lebih memilih pariwisata, tetapi rumput laut juga jangan ditinggalkan. Karena kalau hanya mengandalkan pariwisata, sangat riskan terhadap ekonomi," lanjutnya.

Kembali andalkan rumput laut

Berbeda dengan I Nyoman Sulitra yang baru berkecimpung lagi dalam budidaya rumput laut, Made Suarbawa justru tekun mengembangkan rumput laut di Nusa Lembongan sejak 2000-an awal.

Bahkan, alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali ini mengajarkan tentang cara bertani rumput laut ke Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, hingga Papua.

Sebelum pandemi melanda, dia bisa mendapatkan sekitar Rp35 juta dari menjual bibit rumput laut. Itu belum termasuk hasil penjualan rumput laut kering, sekitar Rp3 hingga Rp5 juta per bulan.

Namun, Suarbawa berinvestasi pada waktu yang tidak tepat. Tergiur oleh keuntungan sektor pariwisata, dia membangun vila dan kolam renang untuk disewakan. Modal sebesar Rp800 juta dia peroleh dari hasil jual aset dan berutang.

Belum sempat balik modal, pandemi muncul.

"Saya bercerita kepada istri, 'kok bisa ya kita bodoh seperti ini?' Karena uang saya habis untuk itu, kolaps, sekarang saya nggak punya uang. Tabungan saya sudah habis untuk membangun vila. Saya bersyukur ada rumput laut sehingga bisa beli beras," tutur Made Suarbawa dengan mata berkaca-kaca.

Kini, Suarbawa telah belajar dari pengalamannya dan fokus menekuni komoditas rumput laut.

Dengan dukungan beberapa lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah, Suarbawa melakukan pembibitan dan pengembangan rumput laut. Saat ini dia mengelola 1.700 m2 lahan rumput laut.

"Selama 30 tahun, kami di Lembongan telah diselamatkan rumput laut. Tidak mungkin komoditas yang sudah menyelamatkan kami 30 tahun, kami abaikan begitu saja. Lalu kenapa kami tidak rawat dengan baik untuk keberlangsungan kehidupan kami di Lembongan," pungkas Suarbawa.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada