Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Mengapa pelajar di luar negeri takut dengan UU Keamanan Nasional Hong Kong?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Riot police fire tear gas into the crowds to disperse anti-national security law protesters during a march at the anniversary of Hong Kong"s handover to China from Britain in Hong Kong, China July 1, 2020. Reuters
Serangkaian protes terhadap undang-undang keamanan berlangsung pada bulan Juli lalu, bertepatan dengan peringatan penyerahan Hong Kong dari Inggris.

Undang-undang Keamanan Nasional yang diberlakukan China di Hong Kong telah membatasi kebebasan berpendapat di wilayah itu - namun dampaknya jauh lebih luas lagi.

Undang-undang tersebut berlaku bagi semua orang di dunia, di mana pun mereka berada. Orang yang melanggar hukum dapat dituntut jika mereka pergi ke Hong Kong.

Baca Juga:

Hal itu telah menimbulkan permasalahan yang tak terduga bagi universitas-universitas asing, yang kini berusaha keras untuk mencari cara bagaimana melindungi para mahasiswa mereka dari ucapan dan tulisan yang mungkin nantinya akan digunakan untuk melawan mereka.

Institusi-institusi asing yang terkenal sebagai benteng kebebasan berbicara kini harus berurusan dengan sensor oleh China.

Siapa pun yang mengkritik China dan melakukan perjalanan ke Hong Kong berisiko ditangkap berdasarkan undang-undang baru tersebut

Baca Juga:

Tetapi mahasiswa Hong Kong yang belajar di luar negeri menghadapi ancaman khusus karena mereka suatu saat akan kembali ke bekas wilayah koloni Inggris itu.

Mereka tidak dapat menghindari pergi ke Hong Kong dengan cara yang sama seperti orang asing.

Police deter pro-democracy protesters from blocking roads in the Mong Kok district of Hong Kong on May 27, 2020 AFP
Kritikus memperingatkan undang-undang itu akan menutup kesempatan timbulnya perbedaan pendapat.

Undang-undang tersebut membuat mereka khawatir tentang bagaimana harus bertindak saat berada di luar negeri.

"Kami terbiasa dengan pemerintah Hong Kong yang menghancurkan pendapat kami di Hong Kong, tetapi kami mengharapkan lebih banyak kebebasan untuk berbicara di Inggris," kata seorang mahasiswa Hong Kong di Universitas Leeds. "Rasanya kita masih diawasi."

Fakta bahwa dia tidak mau menyebutkan namanya adalah indikasi betapa dia merasa waspada.

Seorang siswa Hong Kong lainnya di Leeds, yang juga ingin dirahasiakan namanya, berkata bahwa dia sekarang akan lebih sedikit berbicara di kelas untuk menghindari masalah.

Shaun Breslin, seorang profesor politik dan studi internasional di Universitas Warwick, mengatakan salah satu naluri pertamanya di awal tahun akademik ini adalah untuk mencegah mahasiswa Hong Kong mengambil mata kuliah tertentu yang sensitif secara politik.

"Tetapi Anda tidak dapat melakukan itu karena itu membatasi mereka dari kesempatan yang setiap mahasiswa dari belahan dunia lain diperbolehkan untuk melakukan," katanya.

"Itu akan jatuh ke dalam perangkap bukan penyensoran diri, tapi penyensoran orang lain."

Jadi, universitasnya, seperti universitas-universitas lain di Inggris dan Amerika Serikat, dengan cepat menyusun kode etik untuk melindungi siswa sebanyak mungkin.

"Kami tidak merekam seminar, Anda tidak dapat menghubungkan sekumpulan kata atau opini tertentu dengan seorang individu, dan kami telah mengirimkan banyak pengingat tentang etiket," kata Breslin.

Di Universitas Oxford, seorang profesor yang terlibat dalam studi bidang China mengizinkan mahasiswanya untuk mengirimkan pekerjaan mereka secara anonim untuk melindungi mereka, posisi yang didukung oleh atasannya.

"Universitas ini tetap berkomitmen pada kebebasan akademis dalam berbicara dan berpikir, dan untuk mendukung penuh akademisi dalam cara mereka memilih untuk mengajar," kata universitas itu dalam sebuah pernyataan.

Masalah ini diperdebatkan di banyak universitas.

Sophia Tang, seorang profesor hukum di Universitas Newcastle, baru-baru ini mengadakan seminar online tentang ekstrateritorialitas hukum keamanan nasional Hong Kong.

Dia mengatakan siswa Hong Kong sangat ingin tahu bagaimana hal itu akan mempengaruhi mereka saat belajar di luar negeri.

University of Hong Kong students take part in rebuilding a "Lennon Wall" on the campus in Hong Kong, China, 29 September 2020. EPA
"Tembok Lennon", seperti yang ada di Universitas Hong Kong ini, telah digunakan oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi.

Tapi hal itu tidak mudah untuk dinilai. Satu masalah besar bagi pelajar adalah bahwa sulit untuk mengetahui apa yang diperbolehkan dan apa yang ilegal, karena undang-undang tersebut dirancang secara luas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Undang-undang tersebut melarang perilaku yang merusak keamanan nasional China, tetapi itu bahkan termasuk tindakan yang memprovokasi "kebencian" terhadap pemerintah China.

Apakah itu termasuk kritik terhadap pemerintah?

"Banyak konsep-konsep kunci yang sangat ambigu, jadi kami tidak tahu pidato apa yang berpotensi memprovokasi," kata Tang.

Banyak yang mengira ambiguitas itu disengaja, untuk menyebarkan ketakutan dan ketidakpastian.

Keinginan pemerintah China untuk membatasi apa yang orang katakan tentang China di luar negeri bukanlah hal baru.

Pelajar China daratan yang belajar di luar negeri sudah menghadapi kemungkinan ditangkap ketika mereka kembali ke rumah untuk hal-hal yang mereka katakan di luar negeri.

Dan China secara rutin menyerang pemerintah asing, perusahaan, lembaga pemikir, tokoh olahraga - bahkan boy band.

Baru-baru ini mereka mengkritik grup pop Korea Selatan, BTS, ketika salah satu anggotanya gagal menyebut tentara China saat menghormati mereka yang tewas selama Perang Korea.


China biasanya berupaya memberikan tekanan dengan menggunakan kekuatan ekonominya untuk memberi sanksi kepada orang-orang yang mengatakan hal-hal yang tidak disukai.

Itu berarti universitas asing dengan kepentingan finansial di China berada dalam posisi yang rentan.

Sebelum pandemi virus corona, ada sekitar 120.000 mahasiswa China yang belajar di Inggris, dan banyak universitas di Inggris yang bergantung pada pemasokan dari kelompok tersebut.

Bagaimana jika pemerintah China menghentikan kedatangan mereka di masa mendatang? Awal tahun ini, itulah yang disarankan bagi siswa China yang ingin pergi ke Australia.

Beberapa universitas bahkan memiliki hubungan yang lebih erat, sehingga berpotensi lebih terbuka. Universitas Liverpool membuka kampus di China dengan Universitas Xi'an Jiaotong.

Tony Chung in Hong Kong Getty Images
Aktivis Tony Chung, 19, adalah tokoh masyarakat pertama yang ditangkap atas undang-undang keamanan nasional baru.

Meski kemungkinan undang-undang itu tidak memengaruhi pekerjaan, para akademisi asing yang memiliki spesialisasi isu China sadar akan kemungkinan timbulnya dampak jika pemerintah China tidak menyukai apa yang mereka katakan.

Beijing menolak memberi visa kepada beberapa akademisi untuk memasuki negara itu.

"Saya umumnya sangat berhati-hati. Saya tahu ada garis yang tidak bisa dilewati," kata Profesor Tang dari Newcastle, saat menjelaskan kesulitan yang melekat dalam menangani kekuasaan China.

Tang memiliki hubungan dekat dengan Universitas Wuhan di China.

"Saya tidak ingin terlalu banyak bicara tentang politik," akunya. "Jika orang bertanya kepada saya apakah China telah melanggar hukum internasional, saya akan memberi tahu mereka bahwa saya bukan ahli di bidang ini."

Universitas-universitas asing memang sudah bertahun-tahun rentan terhadap tekanan dari China. Tapi, seperti yang dikatakan Profesor Breslin, belum pernah hingga skala seperti ini sebelumnya.

Undang-undang keamanan nasional China berarti orang-orang di seluruh dunia berpotensi dituntut di Hong Kong.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada