Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Negeri Gajah Putih Diguncang Tuntutan Reformasi Monarki

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Negeri Gajah Putih Diguncang Tuntutan Reformasi Monarki
Iklan

Gelombang aksi pendukung demokrasi terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir di Thailand. Unjuk rasa yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha ini dimulai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand membekukan partai oposisi pemerintahan paling vokal, Thai Raksa Chart. Pembekuan ini dinilai semakin menguntungkan penguasa junta militer, PM Prayuth.

Sempat berhenti karena pandemi corona, unjuk rasa yang dipimpin oleh kelompok mahasiswa pun kembali digelar Juli lalu dan terus berlangsung hingga kini. Selama dua bulan gelombang unjuk rasa kian meningkat, para demonstran juga menuntut adanya reformasi monarki di Kerajaan Thailand.

Apa tuntutan pengunjuk rasa?

Baca Juga:

Sedikitnya ada 10 tuntutan dalam aksi protes terhadap pemerintah di ibu kota Thailand, Bangkok. Tuntutannya antara lain pelengseran pemerintah, amandemen konstitusi yang dibuat militer, pelaksanaan pemilu, serta mendesak reformasi monarki Raja Maha Vajiralongkorn.

Di Negeri Gajah Putih sendiri, kritik terhadap raja dan monarki adalah hal yang tabu. Pelanggarnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Lese Majeste dengan ancaman pidana 3-15 tahun penjara.

PM Prayuth menegaskan bahwa pemerintah mengizinkan unjuk rasa, namun mengkritik monarki sudah melanggar batas.

Baca Juga:

Prayuth memenangkan pemilu tahun lalu, yang oleh oposisi diyakini telah dimanipulasi. Amarah rakyat semakin tersulut oleh dugaan korupsi, penangkapan sejumlah aktivis mahasiswa, dan dampak ekonomi pandemi corona.

Aktivis kritik mundurnya demokrasi

Sejumlah aktivis pendukung demokrasi menyebut bahwa sistem monarki Kerajaan Thailand - monarki absolut yang berubah menjadi monarki konstitusional tahun 1932 - mengalami kemunduran. Sistem pemerintahan saat ini sangat dekat dengan pengaruh militer dan mengekang demokrasi.

Mereka juga menuntut akuntabilitas keuangan istana kepada Raja Maha Vajiralongkorn, yang menggantikan ayahnya Raja Bhumibol Adulyadej yang meninggal pada tahun 2016 lalu.

Berbeda dengan sang ayah yang dihormati rakyat, Raja Vajiralongkorn tercatat sering terlibat skandal. Ia juga dikenal dengan gaya hidupnya yang mewah. Nilai total kekayaannya diperkirakan mencapai 60 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 840 triliun.

Bahkan pada akhir Maret lalu, media Jerman melaporkan bahwa raja berwisata di sekitar Jerman menggunakan pesawat pribadi Boeing 737 untuk mengunjungi Hannover, Leipzig, dan Dresden. Ia diketahui tinggal sementara di sebuah hotel mewah di Pegunungan Alpen Bavaria, Jerman, selama pandemi melanda, ketika Thailand bergulat dengan peningkatan kasus corona.

Unjuk rasa terbesar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada Minggu (20/09) pagi, sejumlah pengunjuk rasa memasang plakat di tanah di sebelah Istana Agung Thailand, yang dikenal dengan kawasan Sanam Luang

Menurut media lokal yakni Bangkok Khaosod, plakat tersebut bertuliskan: “Biarkan rakyat mengetahui bahwa negara adalah milik rakyat bukan milik raja, seperti selama ini mereka menipu kita.”

Namun, tidak sampai sehari, plakat tersebut telah hilang dan tertutup dengan tambalan semen.
Wakil Kepala Polisi Bangkok, Piya Tawichai, mengatakan kepada kantor berita Jerman dpa pada Senin (21/09) bahwa polisi sedang menyelidiki hilangnya plakat tersebut.

Plakat tersebut menyerupai aslinya yang ditanam pada tahun 1936 sebagai lambang transisi Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Tetapi plakat tersebut hilang secara misterus pada tahun 2017, setahun setelah Raja Vajiralongkorn dilantik. Polisi menyebut para aktivis yang memasang plakat tersebut terancam dengan hukuman perusakan fasilitas umum.

Sekitar 20 ribu pengunjuk rasa yang menuntut demokrasi turun ke jalan-jalan di Kota Bangkok selama akhir pekan kemarin, menjadikannya unjuk rasa terbesar dalam beberapa bulan terakhir. Di bawah guyuran hujan mereka menyerukan pengunduran diri PM Thailand Prayuth Chan-ocha dan menuntut reformasi monarki kerajaan Thailand.

Sejauh ini dilaporkan puluhan pengunjuk rasa ditangkap.

“Hancurkan feodalisme, hidup rakyat! Hancurkan kediktatoran, hidup demokrasi!” Demikian seruan para pengunjuk rasa dalam demostrasi mereka.

rap/ae (AFP, Reuters, dpa)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada