Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Benarkah Ada Hak Istimewa untuk Penerima Vaksin COVID-19?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Benarkah Ada Hak Istimewa untuk Penerima Vaksin COVID-19?
Iklan

Negara-negara Eropa telah memulai peluncuran vaksin COVID-19, namun para dokter dan politisi kini memperdebatkan implikasi moral dan sosialnya.

Frank Ulrich Montgomery, Presiden Asosiasi Medis Dunia, dan Thomas Mertens, ahli virologi dan Kepala Komisi Vaksinasi Jerman (STIKO), menyarankan bahwa orang yang telah disuntik vaksin COVID-19 suatu hari dapat menggunakan "paspor" vaksin untuk mendapatkan akses ke penerbangan, restoran, konser, dan bioskop.

Baca Juga:

Montgomery mengatakan kepada radio publik Jerman Deutschlandfunk pada Senin (28/12) pagi bahwa meskipun terlalu dini untuk membahas gagasan tersebut sebelum vaksin tersedia untuk semua orang, namun pada prinsipnya menurut Montomery hal ini perlu dibahas.

Banyak orang Jerman sudah memiliki "paspor imunisasi" yang mencatat semua vaksin yang sudah mereka dapatkan. Selain itu, Jerman belum lama ini mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua anak mendapat vaksin campak sebelum mereka masuk ke taman kanak-kanak atau sekolah. Aturan bersekolah bagi setiap anak adalah wajib di Jerman, maka berarti Jerman sudah memiliki vaksinasi campak wajib secara de facto.

Perlakuan khusus bagi penerima vaksin COVID-19?

Tetapi Kepala STIKO, Mertens, mengatakan kepada surat kabar Die Welt bahwa dia dapat membayangkan bahwa di masa depan, dunia bisnis dapat menuntut bukti vaksin COVID-19 sebelum menerima pelanggan.

Baca Juga:

"Ini perjanjian pribadi yang dibuat oleh pemilik restoran, maskapai penerbangan, dan penyelenggara konser," katanya. "Saya pikir hal seperti itu mungkin. Saya bukan ahli hukum, dan pada akhirnya pembuat aturan hukumharus memutuskan."

Pemerintah Jerman telah berulang kali mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk disuntik vaksin COVID-19. Mengingat orang-orang yang skeptis terhadap vaksin COVID-19 jumlahnya tidak sedikit, pemerintah dengan cepat memadamkan pikiran-pikiran negatif tentang hak istimewa bagi mereka yang melakukan vaksinasi.

"Tidak ada perlakuan khusus untuk penerima vaksin,‘‘ kata Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer kepada surat kabar Bild am Sonntag akhir pekan lalu.

Namun, meskipun dia tidak mengatakannya secara eksplisit, Seehofer secara diam-diam mengakui bahwa pemerintah tidak dapat berbuat banyak dalam menghentikan perusahaan untuk membuat kebijakan mereka sendiri. "Yang bisa saya lakukan hanyalah memperingatkan agar tidak melakukannya," katanya. "Perlakuan khusus bagi yang penerima vaksin akan memecah belah masyarakat,‘‘ tambahnya.

Perdebatan internasional

Negara-negara Eropa juga memperdebatkan hal serupa. Inggris, yang mulai memvaksinasi warga lanjut usia dan tenaga kesehatan garda depan pada pertengahan Desember, juga mengesampingkan pendistribusian paspor imunitas.

Namun masih ada kebingungan tentang masalah tersebut. Menteri Vaksin yang baru diangkat, Nadhim Zahawi, menyarankan pengelola pub dan tempat olahraga boleh tidak mengizinkan mereka yang menolak vaksin dengan menggunakan teknologi pelacakan.

"Kami sedang melihat teknologinya," kata Zahawi kepada BBC pada akhir November. "Dan, tentu saja, cara orang dapat memberi tahu [dokter] mereka bahwa mereka telah disuntik vaksin. Tetapi, juga, saya pikir mungkin Anda akan menemukan restoran, bar, bioskop, dan tempat lainnya, juga akan menggunakan sistem itu,’’ tambahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi meskipun ada penolakan, beberapa surat kabar Inggris telah melaporkan rencana untuk memperkenalkan paspor imunisasi atau stempel di paspor biasa yang memungkinkan orang melakukan perjalanan ke negara tertentu.

Solusi di Cina

Sementara, Cina telah menerapkan sistem kesehatan publik menggunakan kode warna di lebih dari 200 kota sejak Februari. Sistem ini yang menentukan ke mana warganya boleh dan tidak boleh pergi.

Otoritas lokal mengintegrasikan perangkat lunak ke dalam aplikasi mengirim pesan WeChat dan platform pembayaran AliPay, yang keduanya dilaporkan memiliki sekitar satu miliar pengguna. Setelah orang-orang mengisi kuesioner singkat tentang suhu tubuh dan latar belakang kesehatan mereka, aplikasi dapat menentukan seberapa berisiko mereka menyebarkan virus, dan kemudian memberi mereka warna yang menentukan ke mana mereka bisa pergi.

Merah atau kuning menandakan mereka pernah kontak dengan virus corona sehingga tidak boleh bepergian. Pada KTT G20 bulan November, Presiden Cina Xi Jinping menyarankan untuk meluncurkan skema seperti itu di seluruh dunia.

Pada 16 Desember, Asosiasi Transportasi Udara Internasional meluncurkan aplikasi Travel Pass, yang dapat "membantu pelancong dengan mudah dan aman mengatur perjalanan mereka sejalan dengan persyaratan pemerintah untuk pengujian COVID-19 atau informasi vaksin."

Pemberian rasa aman yang keliru?

Di AS, beberapa perusahaan sudah mulai mengembangkan sistem online yang memungkinkan pengguna dapat mengunggah informasi vaksinasi mereka, terlepas dari ada atau tidaknya aturan negara yang mewajibkannya hal tersebut.

Sementara itu, raksasa teknologi AS IBM telah menciptakan Digital Health Pass yang berpotensi mengecualikan mereka yang tidak disuntik vaksin COVID-19 dari bisnis tertentu. Meski tentu saja, sistem itu tidak dipasarkan demikian.

Sistem ini "dirancang untuk memungkinkan organisasi memverifikasi kredensial kesehatan untuk karyawan, pelanggan, dan pengunjung yang memasuki area mereka berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh organisasi," kata situs web IBM.

Tetapi apakah rencana seperti itu akan menawarkan rasa aman yang palsu? Kembali ke Jerman, Karl Lauterbach, politisi Sosial Demokrat sekaligus seorang ahli epidemiologi, juga menentang pemberian hak khusus untuk vaksinasi karena alasan ilmiah dan moral. "Tidak dapat dikesampingkan bahwa orang yang telah disuntik vaksin masih mungkin menginfeksi orang lain," katanya kepada grup media Funke.

Lauterbach mengatakan bahwa terlalu cepat mengizinkan bisnis dibuka kembali juga merupakan fatamorgana. “Yang benar-benar berbahaya bagi perekonomian adalah terus-menerus membuka (bisnis) dan menutup kehidupan masyarakat,” ujarnya. "Pertanyaan apakah sekelompok kecil orang yang telah disuntik vaksin diizinkan untuk melakukan lebih dari yang lain, agak tidak relevan berdasarkan situasi ini." (pkp/ha)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada