Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Tunggu Kepastian Relokasi, Pengungsi Perempuan Berdaya dengan Bekal Keterampilan

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Tunggu Kepastian Relokasi, Pengungsi Perempuan Berdaya dengan Bekal Keterampilan
Iklan

Menjadi pengungsi di negara orang tidaklah mudah, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Pengungsi perempuan juga lebih rentan terhadap terjadinya kekerasan domestik setelah mereka meninggalkan negaranya. Dengan ketimpangan gender yang masih sangat lebar, pengungsi perempuan dan anak-anak perempuan pun menghadapi ketidakpastian yang lebih besar.

Salah satunya yaitu Yalda Ghaznawi, 31, yang melarikan diri dari kampung halamannya di Provinsi Ghazni, Afganistan pada 2017. Ia memutuskan pergi mencari suaka di negara ketiga karena berasal dari etnis Hazara, penganut Syiah. Suaminya juga telah beberapa kali menerima ancaman dibunuh oleh Taliban.

Baca Juga:

Mayoritas pengungsi asal Afganistan di Indonesia berasal dari etnis Hazara yang dipersekusi oleh pemerintah Afganistan. Banyak dari pengungsi tersebut telah menetap di Indonesia selama bertahun-tahun, menunggu kepastian untuk dipindahkan ke negara ketiga yakni Australia.

Saat tiba di Jakarta, Yalda mengaku sangat frustasi karena hidup serba tidak pasti. Ia tidak tahu bahasa dan mata uang di Indonesia. Sementara anaknya yang paling kecil meminta air karena haus.

"Saya tidak tahu harus bagaimana, tidak ada yang mengerti bahasa kami dan akhirnya saya menangis karena sedih," ujar Yalda sambil mengenang.

Baca Juga:

Setelah hampir dua tahun di Indonesia, ia pun mengenal dan bergabung di Sisterhood Community Center di Jakarta Selatan dan mengikuti berbagai kelas keterampilan seperti memasak, tata rias, dan kelas bahasa Inggris. Yalda ingin punya keterampilan yang bisa dimanfaatkan nanti saat ia tiba di negara ketiga.

"Saya sangat senang bisa belajar bahasa dan keterampilan di sana. Tempat ini sangat bagus untuk wanita apalagi ibu-ibu seperti saya yang merasa bosan hanya di rumah saja. Kami bisa mengobrol, bertukar pikiran dengan perempuan-perempuan lain," ujar dia kepada DW Indonesia.

Beragam kelas kterampilan untuk pengungsi perempuan

Dalam sebuah rumah yang terletak di Jakarta Selatan, sebuah pusat komunitas untuk pengungsi dan pencari suaka perempuan dan anak-anak yakni SisterHood Community Center menawarkan pelatihan kejuruan. Sejumlah pengungsi perempuan dari berbagai negara yang terdampar di Indonesia tengah mempelajari berbagai keterampilan seperti berkebun, tata rias, menjahit, bordir, membuat perhiasan, dan mendaur ulang plastik.

Pendiri SisterHood Community Center, Nimo Adam, mengatakan program-programnya ingin memberikan dukungan kepada pengungsi perempuan agar bisa mandiri tanpa memandang agama, ras, dan negara asal mereka. Di sana tercatat ada 430 pengungsi perempuan dari berbagai negara seperti Somalia, Palestina, Afganistan, Pakistan.

"Mereka bisa melupakan trauma, mengurangi depresi yang mereka alami dengan kegiatan yang kami lakukan di sini dengan melibatkan 200 volunteers, 30 di antaranya orang Indonesia. Namun karena pandemi semua kelas dilakukan secara online," kata Nimo Adam kepada DW Indonesia.

"Saya harap komunitas ini bisa berkelanjutan dan lebih stabil dalam pendanaan agar bisa membantu pengungsi perempuan di Indonesia. Perempuan itu sangat bertekad kuat untuk berhasil di masa depan," kata Nimo.

Pelatihan agar bisa hidup bermartabat

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri memang tidak berkewajiban untuk memberikan pemenuhan hidup bagi para pengungsi asing lantaran belum meratifikasi Afganistan. Pengungsi dari luar negeri di Indonesia juga dilarang untuk bekerja dan bersekolah secara formal.

Dwi Prafitria, dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas menangani masalah pengungsi yakni UNHCR Indonesia, mengatakan saat ini pihaknya mengadakan berbagai pelatihan keterampilan bagi pengungsi. Keterampilan ini berguna agar para pengungsi bisa produktif apabila nantinya mereka menemukan solusi tempat tinggal permanen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"UNHCR juga berupaya mengadvokasi agar pengungsi bisa diberikan kesempatan melakukan kegiatan pemberdayaan agar bisa hidup dengan bermartabat sekaligus dapat memberikan kontribusi yang positif untuk masyarakat Indonesia."

Ia memastikan program resettlement UNHCR tetap berjalan seperti biasa. Pihaknya juga terbuka untuk berdiskusi dengan pengungsi.

UNHCR melaporkan bahwa saat pandemi mulai merebak pada tahun 2020, lebih dari 160 negara menutup perbatasan mereka, dengan 99 negara di antaranya menutup akses bagi orang-orang yang tengah mencari perlindungan internasional.

Menurut UNHCR, hingga akhir Mei 2021 terdapat sekitar 13.400 pengungsi asing di Indonesia, 7.000 di antaranya tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Selebihnya tersebar antara lain di Medan, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Makassar.

"Saya punya mimpi mendirikan bakery"

Delnaz Zarbalizadeh, 37, meninggalkan Iran pada 2017 bersama keluarga karena keselamatannya terancam. Ia diancam akan dibunuh karena keluar dari agama Islam dan mendapatkan diskriminasi oleh polisi keamanan di Iran.

"Karena kegiatan yang kami lakukan di Iran, kami selalu bermasalah dengan otoritas keamanan sehingga Iran bukanlah tempat aman buat kami sehingga kami harus terpaksa meninggalkan Iran," ujar dia.

Tadinya Delnaz adalah pekerja asuransi di Iran dan merupakan wanita yang aktif. Namun sekejap berubah karena menjadi pengungsi di Indonesia yang tak punya pekerjaan dan uang.

"Saya masih bisa rasakan bagaimana kami kesusahan. Putri saya sakit saat itu dan dia harus minum pil. Namun kondisi (hidup) menyebabkan putri saya berhenti berobat," katanya. "Perempuan dan anak-anak rentan dalam situasi migrasi, mereka juga perlu bahagia dan bebas dari stres dan kenangan buruk. Oleh karenanya saya bergabung dengan Sisterhood untuk membantu diri saya sendiri memperbaiki perasaan dan suasana hati saya."

Ia berharap bisa menemukan tempat yang aman untuk membuat hidupmu dan masa depan anak-anak lebih baik untuk bisa memulai hidup saya bebas dan damai.

Sama seperti Delnaz, tidak peduli di mana negara relokasinya, Yalda dari Afganistan juga hanya ingin hidup damai dan aman. Yalda datang ke Indonesia beserta lima orang anak, suami dan adik iparnya.

"Saya berharap bisa mendirikan bakery atau restoran di negara penempatan saya nanti dengan keterampilan masak yang saya pelajari di Sisterhood. Saya harap saya bisa membuat kue atau makanan tradisional dari Afganistan." (ae)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada