Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Investigasi: Sejumlah Pekerja Migran Jadi Korban Eksploitasi Diplomat

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Investigasi: Sejumlah Pekerja Migran Jadi Korban Eksploitasi Diplomat
Iklan

Lebih dari 200 pekerja migran yang jadi pembantu rumah tangga di 18 negara diduga menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja, yang melibatkan para diplomat dan pegawai organisasi internasional. Demikian hasil investigasi global yang dipublikasikan jaringan media yang bermarkas di Filipina, Rappler, pada bulan Agustus.

Rappler memeriksa dokumen-dokumen sumber terbuka dari tahun 1988 hingga 2021, termasuk catatan pengadilan, berkas kasus LSM, laporan berita, dan jurnal hukum. Pelanggaran ini diduga melibatkan 160 diplomat, yang banyak di antaranya berhasil menghindari tuntutan hukum karena kekebalan diplomatik.

Baca Juga:

Pakar hukum internasional di lembaga nirlaba hukum yang bermarkas di Berlin, European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), Ben Vanpeperstraete, mengatakan kepada DW bahwa temuan itu tidak mengejutkan. "Kemungkinan besar masih banyak lagi insiden yang tidak dilaporkan," ujar Vanpeperstraete.

Di bawah Konvensi Wina, para diplomat dan pegawai organisasi internasional diberikan tingkat kekebalan diplomatik, yang melindungi mereka dari tuntutan perdata dan pidana. Kekebalan diplomatik diperlukan untuk menjaga hubungan internasional yang baik. Namun investigasi Rappler menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga yang dipekerjakan oleh diplomat yang dilindungi oleh kekebalan tersebut hanya memiliki sedikit jalur hukum dalam kasus-kasus perdagangan orang dan eksploitasi.

Asisten rumah tangga (ART) sudah merupakan jenis pekerjaan yang berbahaya dengan tingkat pelecehan yang sangat berlebihan yang tidak dapat diterima dalam hubungan normal antara pekerja dan majikan. Menjadi pekerja rumah tangga migran yang dipekerjakan oleh seorang diplomat menambah tingkat keluhan lainnya.

Pelecehan apa saja yang pernah dialami oleh pekerja rumah tangga?

Baca Juga:

Cely Nunez adalah salah satu dari asisten rumah tangga, yang termasuk dalam laporan tersebut. Dalam laporan itu juga tertera kasus-kasus dugaan pencurian upah, pembayaran upah yang terlalu rendah, atau tidak menerima upah sama sekali.

Nunez telah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai pekerja rumah tangga, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain di Asia dan Timur Tengah. Ia bekerja untuk seorang warga negara Oman selama lebih dari delapan tahun. Ia mengikuti majikannya dari Oman ke Berlin di mana sang majikan menduduki pos baru sebagai pejabat tinggi dinas luar negeri pada tahun 2018.

Sang ART membantu membesarkan keempat anak majikannya, bekerja lembur berjam-jam, bahkan di akhir pekan, sementara putrinya sendiri tumbuh tanpa dia. "Saya pernah menjadi sopir, asisten rumah tangga, semua itu jadi tugas saya," kata Nunez.

Gaji awalnya adalah €950 (Rp15,6 juta) per bulan, yang dibayarkan ke rekening banknya. Namun, tanpa menjelaskan alasannya, sang diplomat memintanya untuk mengembalikan €350 (Rp5,7 juta) dalam bentuk tunai setiap bulan. Ketika gajinya meningkat sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan Jerman, potongan tersebut juga meningkat. Pada saat dia mendapatkan €1.604 (Rp26 juta) pada Desember 2021, dia mengembalikan €654 (Rp10,7 juta) kepada diplomat tersebut.

Nunez mengatakan tidak ada kesempatan untuk berganti pekerjaan, karena tempat tinggal dan izin kerjanya terikat dengan majikan diplomatnya itu."Kami melakukannya karena kami berkorban untuk keluarga kami. Selama tidak terluka secara fisik, kami tidak akan menyerah," katanya.

Ban Ying, sebuah lembaga nirlaba Jerman yang telah menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga migran yang dieksploitasi oleh para diplomat, menghitung bahwa gaji Nunez yang tidak dibayar dan lembur yang tidak dibayar mencapai €83.112 (Rp 1,37 miliar) selama tiga tahun. Namun Nunez tidak dapat mengajukan kasusnya ungtuk diproses secara hukum. Polisi mengatakan kepadanya bahwa majikannya dilindungi oleh kekebalan diplomatik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kita tidak bisa membiarkan kekebalan diplomatik menjadi pembelaan bagi mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan eksploitasi," kata anggota parlemen Filipina Arlene Brosas kepada DW.

"Kami menegaskan kembali posisi kami yang sudah lama menentang kebijakan pengiriman tenaga kerja. Kebijakan ini, yang memperlakukan pekerja Filipina sebagai komoditas ekspor, membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi," ujarnya.

"Sangat penting untuk memperkuat industri lokal yang dapat menyediakan pekerjaan tetap dengan upah layak di dalam negeri," tambah Brosas.

Pelajaran agar tidak terulang

Nunez berhasil meninggalkan majikannya, dan sejak saat itu kembali ke Filipina. Dua tahun kemudian, ia masih merasa kesal karena gajinya yang hilang, dan percaya bahwa diplomat seharusnya tidak memiliki kekebalan hukum. "Ini bukan hanya tentang saya. Ada begitu banyak orang lain," katanya.

Uang sebesar €83.000 (Rp1,37 miliar) yang hilang karena gajinya yang tidak dibayarkan, sebenarnya bisa membiayai banyak impiannya. Uang itu bisa membantu menyekolahkan anak perempuan dan saudara-saudaranya serta memungkinkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk memiliki bisnis sendiri. "Saya tidak takut dengan [mantan majikan saya]. Saya memperjuangkan hak-hak saya. Ketika menyangkut hak-hak kita, kita harus benar-benar memperjuangkannya," kata Nunez.

Meskipun keadilan sulit didapatkannya, Nunez terus menceritakan kisahnya dengan penuh keyakinan, untuk menyampaikan pesan bahwa hal ini tidak boleh terjadi pada pekerja migran lainnya.

Profesor di bidang gender dan pembangunan di London School of Economics, Sharmila Parmanand mengatakan kepada DW bahwa keputusan penting Mahkamah Agung Inggris, yang memutuskan bahwa pekerjaan di rumah tangga diplomatik tidak dilindungi oleh kekebalan hukum, seharusnya menjadi standar baru untuk mengevaluasi kasus-kasus perdagangan orang.

"Ada kebutuhan untuk membangun sebuah sistem yang mengalihkan beban untuk menjamin hak-hak pekerja dari individu pekerja dan menuju solusi yang lebih struktural," pungkas Parmanand.

Laporan ini didukung oleh JournalismFund Europe's Modern Slavery Unveiled Grant Program dan Pulitzer Center.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada