Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Perang Israel-Hamas Berlanjut, 'Mimpi Buruk' bagi Warga Gaza

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Perang Israel-Hamas Berlanjut, 'Mimpi Buruk' bagi Warga Gaza
Iklan

Saat ini tidak ada tempat berlindung di mana pun, ungkap Mona Sabbah, 29 tahun, melalui sambungan telepon dari Kota Gaza. Sejak Sabtu (07/10), Sabbah menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang bawah tanah bersama anak-anaknya, suami, dan tetangganya.

"Sejak tadi malam, pengeboman tidak pernah berhenti. Terutama di Rimal," tambah Sabbah, merujuk pada sebuah distrik di pusat Kota Gaza. "Kami bertanya-tanya, target apa yang akan mereka serang selanjutnya? Apakah kami akan selamat malam ini?"

Tidak ada listrik dan hanya ada sedikit air

Baca Juga:

"Jika mereka (Israel) memiliki masalah, mereka harus menyelesaikannya dengan Hamas. Mereka yang menyerang kami, bukan Hamas," kata Sabbah. "Saya menangis sepanjang malam, kami semua berteriak dan menangis. Sulit dipercaya bahwa hal ini kembali terjadi pada kami. Kami warga sipil, kami tidak melakukan apa-apa, kami ingin ini berakhir. Tidak ada listrik, tidak ada internet, hanya ada sedikit air. Apakah belum cukup bahwa kami telah hidup di bawah blokade selama 15 atau 16 tahun? Apa yang akan terjadi selanjutnya?"

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, lebih dari 1.300 warga Palestina meninggal di wilayah tersebut sejak Sabtu (07/10). Sementara lebih dari 6.000 orang lainnya terluka. Sedangkan media Israel melaporkan bahwa sekitar 1.500 jenazah militan Palestina yang menyeberangi perbatasan ke Israel masih berada di sana.

Di Israel, lebih dari 1.200 orang meninggal sejauh ini dan lebih dari 3.100 orang lainnya mengalami luka-luka. Sebagian besar korban jiwa dalam serangan teroris pada Sabtu (07/10) di antaranya merupakan 100 hingga 150 anak-anak, orang tua, dan warga negara asing yang diculik ke Gaza dan disandera di sana.

Blokade total

Baca Juga:

Pada Senin (09/10), Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengumumkan "blokade total" di Jalur Gaza dan menghentikan pasokan listrik, makanan, hingga bahan bakar dari Israel ke wilayah yang terisolasi itu.

Biasanya, makanan dan bahan bakar dapat masuk ke Jalur Gaza melalui penyeberangan Kerem Shalom, Israel, di mana semua impor harus melalui pemeriksaan yang ketat. Bahkan air minum yang dibeli oleh Otoritas Nasional Palestina di Israel untuk penduduk di Jalur Gaza, berhenti dipasok. Sementara itu, Mesir juga telah menutup penyeberangan perbatasannya di bagian selatan Jalur Gaza.

Organisasi-organisasi hak asasi manusia (HAM) Israel seperti Gisha, yang memperjuangkan kebebasan bergerak bagi warga Palestina, telah mengkritik tindakan balasan Israel sebagai hukuman kolektif dan "pengabaian penuh terhadap penduduk sipil."

Pada Rabu (11/10) sore, satu-satunya pembangkit listrik di Gaza akhirnya kehabisan bahan bakar. Meskipun masyarakat Gaza sudah terbiasa dengan pemadaman listrik yang berkepanjangan, pemadaman kali ini membuat wilayah kecil itu mencapai batasnya. "Listrik padam, bahan bakar untuk generator juga tidak ada," lapor seorang jurnalis di Gaza, sambil mengisi ulang baterai ponselnya dengan bantuan alat tenaga surya kecil.

Peringatan serius dari ICRC

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi ini juga membuat rumah sakit sdan layanan kesehatan yang sudah kewalahan jadi semakin terpengaruh dan berada di ambang kehancuran karena jumlah korban terus bertambah. Akibatnya, Komite Palang Merah Internasional, ICRC, merilis peringatan bahwa rumah sakit akan segera berubah menjadi kamar mayat.

"Saya tidak bisa bertahan lebih lama lagi," kata Raed El Athamnah, saat berbicara kepada DW melalui telepon. Selama bertahun-tahun, dia bekerja sebagai sopir bagi para wartawan asing. Pada Sabtu (07/10), dia dan keluarganya terpaksa mengungsi dari Beit Hanoun, sebuah kota di utara Gaza, dekat perbatasan Israel.

El Athamnah dan keluarganya kini mendapat tempat penampungan sementara di Jabalia, sebuah kamp pengungsian di salah satu distrik di Kota Gaza. Tempat penampungan ini terletak di sebuah sekolah dan dikelola oleh Badan Bantuan dan Usaha PBB untuk Pengungsi Palestina di wilayah Timur, UNRWA.

Mencari tempat berlindung

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, OCHA, sekitar 340.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak Sabtu (07/10), terutama penduduk yang tinggal di daerah dekat perbatasan di bagian utara dan timur Jalur Gaza.

Sekitar dua pertiga dari jumlah warga yang mengungsi tersebut, mereka mencari tempat perlindungan di sekolah-sekolah UNRWA. Sedangkan lainnya mencoba untuk tinggal dengan kerabat yang berada lebih jauh ke arah barat dari Gaza. Akan tetapi, di wilayah itu justru angkatan udara dan angkatan laut Israel melakukan pengeboman dari pantai.

"Kami tidak merasa aman bahkan di sini dan siapa yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya," kata El Athamnah, seraya menambahkan bahwa serangan udara Israel kali ini lebih intens dan lebih buruk dari yang pernah dia saksikan sebelumnya.

(kp/rs/ha)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada