Artikel ini memuat kisah kekerasan seksual dan penyerangan fisik.
Tujuh pria dituduh melakukan kekerasan seksual brutal terhadap turis Spanyol di distrik Dumka di negara bagian Jharkhand, India timur. Korban adalah vlogger berusia 28 tahun dan suaminya yang berusia 64 tahun telah berkeliling dunia dengan sepeda motor selama beberapa tahun.
Serangan itu terjadi pada 1 Maret sekitar 300 km (186 mil) dari ibu kota negara bagian Ranchi, tempat pasangan itu bermalam di tenda, kata polisi. Mereka memutuskan untuk berkemah di kota karena mereka tidak menemukan hotel untuk bermalam.
"Mereka memerkosa saya, mereka bergantian menonton dan mereka tetap seperti itu selama sekitar dua jam,” kata perempuan yang berkewarganegaraan Brasil-Spanyol itu kepada saluran TV Spanyol Antena 3.
Pasangan ini telah melakukan perjalanan ke beberapa wilayah Asia dengan sepeda motor mereka sebelum tiba di India beberapa bulan lalu.
Dalam insiden terpisah hanya beberapa hari setelah serangan terhadap turis Spanyol tersebut, polisi mengatakan seorang pekerja seni pertunjukan berusia 21 tahun dari negara bagian Chhattisgarh di India tengah diduga diperkosa beramai-ramai oleh rekan artisnya di distrik Palamu, Jharkhand.
Serangan-serangan mengerikan ini terjadi setelah insiden lain pada akhir pekan ketika seorang gadis berusia 17 tahun diduga diperkosa beramai-ramai oleh dua pria ketika dia kembali ke rumah setelah menghadiri pesta pernikahan di distrik Hathras di utara Uttar Pradesh.
Sifat kasar dan brutal yang mengerikan dari serangan-serangan ini telah mengejutkan masyarakat India dan sekali lagi membuat isu keselamatan perempuan menjadi sorotan.
Kekerasan seksual brutal telah dilaporkan di India hampir setiap hari, dan laporan mengenai kekerasan seksual yang mengerikan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Normalisasi kejahatan pada perempuan
Rata-rata hampir 90 pemerkosaan sehari dilaporkan di India pada 2022, menurut data dari Biro Catatan Kejahatan Nasional India (NCRB).
Angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, banyak kejahatan serupa yang tidak dilaporkan karena takut akan pembalasan, stigma yang ada pada korban, dan kurangnya kepercayaan terhadap penyelidikan polisi.
"Saat ini kita melihat fase terburuk dari kekerasan seksual dan misogini,” kata Kavita Srivastava, sekretaris jenderal Persatuan Rakyat untuk Kebebasan Sipil, kepada DW.
"Ini adalah India baru di mana tampaknya terjadi pelanggaran total terhadap supremasi hukum, yang secara langsung paling berdampak pada perempuan, karena ini juga merupakan periode konsolidasi patriarki tanpa malu-malu.”
Srivastava, yang berkampanye tentang keselamatan perempuan, mengatakan kekerasan terhadap perempuan tampaknya sudah menjadi hal yang normal.
"Misalnya, para troll di media sosial, yang ingin membungkam, menganiaya, atau memerkosa setiap perempuan atau putrinya yang bersikap asertif tidak dapat dimintai pertanggungjawaban,” kata Srivastava.
"Dengan meningkatnya impunitas yang dimiliki para pelanggar dan menyerahnya instrumen peradilan kepada para penguasa politik, membuat pemerkosaan menjadi hal yang sulit untuk diperangi,” tambahnya.
Jaya Velankar, direktur Jagori, sebuah LSM yang menangani isu-isu perempuan, juga melihat adanya peningkatan kejahatan seksual terhadap perempuan, serta perlakuan terhadap mereka yang berada di tingkat paling bawah dalam sistem kasta yang kaku di India. Budaya impunitas dari atas ke bawah menurutnya yang menjadi faktor pendorong.
"Ini adalah reaksi terhadap perempuan yang menempati lebih banyak ruang publik dan menantang hegemoni laki-laki di hampir semua lapisan masyarakat,” kata Velankar kepada DW.
"Kebanyakan laki-laki kewalahan dan tidak tahu bagaimana menangani ego mereka yang terluka dan meluasnya pengangguran telah menciptakan keputusasaan secara keseluruhan,” tambahnya.
Velankar juga merujuk pada rendahnya tingkat hukuman, dimana kasus-kasus terhambat selama bertahun-tahun dalam sistem peradilan pidana India.
"Investigasi yang buruk dalam kasus pemerkosaan dan pengumpulan bukti yang buruk pada tahap awal juga merupakan faktor yang membantu mereka yang berkuasa dan memiliki koneksi politik untuk bebas sepenuhnya dari hukuman,” kata Velankar.
Kegagalan dalam melindungi perempuan
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa perempuan dari tingkat terendah dalam hierarki kasta diskriminatif di India yang telah berusia berabad-abad, yang dikenal sebagai Dalit, sangat rentan terhadap kekerasan seksual dan serangan lainnya.
Mereka mengatakan laki-laki dari kasta dominan sering menggunakan kekerasan seksual sebagai senjata untuk memperkuat hierarki gender dan kasta yang represif.
Pemerkosaan beramai-ramai yang fatal terhadap Jyoti Singh, seorang peserta pelatihan fisioterapi berusia 23 tahun, yang dikenal di seluruh dunia sebagai 'Nirbhaya' (yang berarti "tak kenal takut") pada Desember 2012, sebelumnya telah memicu kemarahan di India.
Kejadian itu juga telah mendorong diberlakukannya undang-undang yang lebih ketat mengenai kekerasan seksual sampai akhirnya hukuman mati untuk pemerkosaan diberlakukan.
Meski begitu, kejahatan seksual belum hilang. Sifat pemerkosaan menjadi lebih agresif, lebih brutal dan sampai batas tertentu menjadi bentuk main hakim sendiri dan gangsterisme.
Meskipun terdapat peningkatan dalam jumlah kasus pemerkosaan yang dilaporkan dan semakin banyak perempuan yang angkat bicara, tingkat hukuman di negara ini masih rendah.
Dalam banyak kasus, kurangnya bukti sering disebut-sebut sebagai alasan rendahnya tingkat hukuman atau pembatalan hukuman oleh pengadilan yang lebih tinggi.
"Apa yang terjadi pada turis Spanyol ini benar-benar tidak dapat diterima dan menunjukkan banyak pelanggaran hukum di negara ini,” kata Amod Kanth, mantan pejabat polisi, kepada DW.
"Kami tahu bahwa terdapat banyak kejahatan seksual yang tidak dilaporkan dan hal ini harus diubah.” (rs/gtp)