Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Menilik Makna Pertemuan Prabowo dengan Xi Jinping

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Menilik Makna Pertemuan Prabowo dengan Xi Jinping
Iklan

Meski belum resmi menjabat, Prabowo Subianto yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pilpres 2024, baru-baru ini berkunjung ke Beijing atas undangan Presiden Cina Xi Jinping.

Usai kunjungannya dari Cina, Prabowo lanjut berangkat ke Jepang, salah satu sekutu Amerika Serikat (AS) di Asia, dan bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di sana.

Apa makna kunjungan Prabowo?

Baca Juga:

Dalam wawancara dengan DW, Yang Hao yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Nasional Chengchi Taiwan mengatakan, kunjungan Prabowo ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya peran Indonesia bagi negara-negara besar di Asia, sekaligus memberi sinyal bahwa pemerintahan Indonesia yang baru berharap untuk bisa melanjutkan kerja sama dengan negara-negara tetangga.

Selain itu, Prabowo Subianto juga menurutnya ingin memahami bagaimana perspektif dari masing-masing negara yang ia kunjungi terkait rezim baru Indonesia. Namun, ia menggarisbawahi bahwa hal ini bukan berarti Indonesia akan memilih untuk "berpihak” antara Amerika Serikat dengan sekutunya Jepang, atau Cina.

Dari sisi Cina, Yang Hao menilai bahwa Xi Jinping sadar kalau Indonesia memiliki kebijakan luar negeri "non-blok”, sehingga dengan kunjungan Prabowo, Xi Jinping menurutnya berharap bisa "mengamankan” Indonesia, setidaknya agar Indonesia tidak bergabung dengan kelompok anti-Cina.

Baca Juga:

Dalam wawancara dengan DW, Vinsensio Dugis, pakar hubungan internasional dari Universitas Airlangga di Indonesia, juga mengatakan hal senada, bahwa Cina memutuskan untuk mengambil tindakan cepat guna menunjukkan bahwa Cina bersedia bekerja sama dengan pemerintahan baru Prabowo nantinya.

Sementara itu, Prashanth Parameswaran, seorang peneliti di Wilson Center yang merupakan wadah pemikir di Washington, dan pendiri ASEAN Wonk, mengatakan bahwa kunjungan Prabowo menunjukkan adanya upaya untuk menghubungi beberapa pemimpin negara yang bersedia berkomunikasi secara langsung dalam waktu dekat.

Menurutnya, untuk menghadapi negara besar seperti Cina, Indonesia tidak hanya memerlukan interaksi dengan pemerintah Beijing saja, tapi juga perlu membangun diversifikasi hubungan dengan negara lain, serta memperkuat kemampuan militer dan ekonomi di negara sendiri.

"Teman lama rakyat Cina”

Xi Jinping pada Senin (01/04) mengatakan bahwa "kunci pencapaian berharga dari relasi Cina-Indonesia terletak pada kepatuhan terhadap independensi strategis”, demikian seperti diberitakan media pemerintah Cina, CCTV. Xi Jinping juga menggambarkan Prabowo sebagai "seorang teman lama dari rakyat Cina.”

Sementara itu, Prabowo mengatakan, ia bertekad melanjutkan kebijakan Presiden Joko Widodo yang ramah terhadap Cina, namun tetap berpegang pada independensi.

Dalam kampanyenya, Prabowo memang berkali-kali menyatakan akan tetap berpegang pada sikap non-blok Indonesia dan tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat ataupun Cina.

Namun, jika dilihat dari rekam jejak dan gaya pribadinya di masa lalu, banyak pakar menilai Prabowo sebagai orang yang "tidak dapat diprediksi,” sehingga patut dicermati seberapa banyak pernyataan dan tindakan Prabowo saat ini yang akan berubah menjadi kebijakan substantif ketika ia menjabat nanti.

Xi Jinping singgung Proyek KCJB

Menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), kunjungan Prabowo ke luar negeri sebelum menjabat secara resmi sebagai presiden, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Namun, ia mengatakan lebih lanjut hal ini tidak mengherankan "karena siapa pun yang terpilih, mereka akan membawa Cina sebagai mitra penting Indonesia.”

Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo misalnya, Cina telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi asing terbesar kedua setelah Singapura.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia juga memiliki status simbolik khusus di mata Xi Jinping, yaitu "Jalur Sutra Maritim Abad ke-21”, yang merupakan sebuah elemen penting dari inisiatif "One Belt, One Road” yang pertama kali diusulkan oleh Xi Jinping saat kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada tahun 2013.

Dalam pertemuannya dengan Prabowo, Xi Jinping bahkan tak lupa menyinggung tentang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), hasil kerja sama kedua negara, yang telah resmi beroperasi pada Oktober tahun lalu.

Meskipun peluncurannya sempat tertunda berkali-kali, dan proyeknya dibayangi kontroversi, Xi Jinping tetap menyebutnya sebagai "tanda emas” dari inisiatif "One Belt, One Road.”

Menurut Yang Hao, pernyataan Xi Jinping yang menyinggung terkait KCJB ketika bertemu Prabowo, lebih kepada ingin meyakinkan Prabowo bahwa "Cina mampu mewujudkan pekerjaan sulit, bahwa ketika berbicara tentang konstruksi infrastruktur, posisi Cina tidak bisa diabaikan.”

Yang Hao juga menambahkan, setelah nanti menjabat sebagai presiden, Prabowo akan segera menghadapi tantangan dalam rencana relokasi ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan, yang menurutnya pasti akan membutuhkan "pembantu asing".

Tantangan bilateral ke depan, ekonomi atau keamanan?

Usai pertemuan antara Xi Jinping dan Prabowo, siaran pers kedua belah pihak tidak ada yang menyinggung secara langsung tentang sengketa Laut Cina Selatan. Padahal, seiring dengan meningkatnya sengketa kedaulatan di Laut Cina Selatan antara Cina dan Filipina, Indonesia sebagai negara besar di ASEAN tidak bisa lepas dari masalah ini, apalagi cakupan kedaulatan yang diklaim Cina berdasarkan "sembilan garis putus-putus” tumpang tindih dengan perairan di dekat Kepulauan Natuna di Indonesia.

Menurut Parens Warren, seorang peneliti di lembaga think tank Amerika, Prabowo sejatinya bisa "blak-blakan” mengenai isu-isu geopolitik seperti isu Laut Cina Selatan. "Namun, yang penting adalah apa tindakan yang akan dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi situasi yang kompleks itu, bukan hanya perkataan di mulut saja,” ujarnya.

"Masalah besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mendapatkan keuntungan ekonomi secara maksimal dari Cina seraya menghadapi tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh Beijing. Pilihannya, apakah bekerja sama dengan Cina untuk mengembangkan proyek infrastruktur atau menangani masalah Laut Cina Selatan?” lanjut Warren.

"Yang perlu dilakukan Prabowo adalah memaksimalkan peluang dan meminimalisir risiko,” tambah peneliti Amerika itu.

Menurut Yang Hao, selama masa "bulan madu” pemerintahan Prabowo, konflik dengan Cina mungkin tidak akan langsung muncul ke permukaan. Tapi, ketika kepentingan dan kedaulatan Indonesia terancam, "sifat militer” Prabowo menurutnya mungkin akan muncul untuk mengambil tindakan "membela negara.”

gtp/as

Artikel ini diadaptasi dari DW Taipei.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada