Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Kenapa Negara Berkembang Waspadai Menguatnya Dolar AS?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Kenapa Negara Berkembang Waspadai Menguatnya Dolar AS?
Iklan

Menguatnya nilai tukar dolar AS memicu kekhawatiran tidak hanya di negara-negara berkembang. tapi juga di negara industri maju.

Hampir semua mata uang milik kelompok perekonomian terbesar di dunia, G20, mengalami depresiasi terhadap dolar. Mata uang lira Turki, misalnya, anjlok sebanyak 8,8 persen sejak awal tahun. Penyusutan juga dialami mata uang yen Jepang sebanyak 8 persen dan won Korea Selatan anjlok sebesar 5,5 persen.

Baca Juga:

Menguatnya USD juga berdampak terhadap dolar Australia, dolar Kanada, dan mata uang euro yang masing-masing melemah sebesar 4,4 persen, 3,3 dan 2,8 persen.

Kenapa dolar AS menguat?

Faktor utama di balik penguatan dolar adalah redanya kekhawatiran bahwa Federal Reserve AS akan segera menurunkan suku bunga. Indeks harga konsumen, CPI, di AS yang dirilis pada Rabu (10/4) lalu tercatat naik lebih dari ekspektasi pasar. Artinya, angka inflasi AS kemungkinan akan kembali merangkak ke atas.

Alhasil, pialang saham tidak lagi bertaruh pada penurunan suku bunga The Fed, yang akan mendorong kenaikan nilai tukar dolar. Tren ini tercermin pada lonjakan sebesar 4 persen pada Bloomberg Dollar Spot Index, yang melacak pergerakan nilai tukar USD terhadap sejumlah mata uang utama.

Baca Juga:

Selain itu, meningkatnya ketegangan di Timur Tengah setelah serangan Iran terhadap Israel ikut mendorong penguatan mata uang AS, karena dianggap kebal krisis.

Faktor ini ditambah dengan membaiknya indikator perekonomian AS, mulai dari pertumbuhan lapangan kerja atau penjualan ritel yang melampaui ekspektasi.

Terlebih, meskipun beberapa negara berkembang masih menawarkan bunga obligasi yang lebih tinggi dibandingkan obligasi AS, kesenjangannya semakin mengecil. Pada awal tahun lalu, tingkat suku bunga di Brasil sebesar 13,75 persen, di Chili sebesar 11,25 persen dan di Hongaria sebesar 13 persen. Sejak itu, ketiga negara memangkas suku bunga acuannya, sehingga memperkecil keuntungan bagi calon investor.

Ancaman bagi negara berkembang

Perkembangan ini ikut merepotkan negara berkembang karena meningkatkan beban bunga yang harus dibayarkan dengan mata uang dolar AS.

Menurut Dana Moneter Internasional, IMF, kenaikan nilai tukar dolar sebesar 10 persen akan menekan produk domestik bruto, PDB, riil di negara-negara berkembang sebesar 1,9 persen setelah satu tahun. Dampak buruk terhadap perekonomian diperkirakan akan berlangsung selama lebih dari dua tahun.

Pada 2022 ketika terakhir kali nilai tukar dolar melonjak tinggi, Sri Lanka nyaris bangkrut dan kehabisan valuta asing seiring depresiasi terhadap rupee. Negara-negara berkembang lain berupaya mencegah depresiasi mata uang dengan menaikkan suku bunga acuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada awal tahun 2024, keyakinan pasar menguat bahwa suku bunga AS akan diturunkan pada akhir tahun dan nilai tukar dolar akan terkoreksi secara alami.

Modus krisis di negara berkembang

Pada 1 April lalu, Bank sentral Brasil melakukan intervensi di pasar valuta asing dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar. Intervensi Bank Sentral itu untuk pertama kalinya dilakukan sejak Presiden Luiz Inacio Lula da Silva menjabat awal tahun lalu.

Adapun Bank Indonesia (BI) mengambil langkah serupa demi menopang nilai tukar rupiah, yang anjlok ke titik terendah dalam empat tahun terakhir. Saat ini nilai tukar rupiah beriksar di Rp. 16.000 yang dianggap krusial bagi ekonomi.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan kepada wartawan, Selasa (16/4) kemarin, bahwa pihaknya "selalu memantau kondisi pasar dan akan memastikan mata uang tetap stabil," kata dia usai dipanggil menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara.+

Kota Hirayama, analis SMBC Nikko Securities, mengatakan "risiko meningkatnya inflasi kembali mencuat di negara-negara berkembang," karena depresiasi nilai tukar mata uang dan kenaikan harga minyak.

"Negara-negara ini sepertinya tidak akan menaikkan suku bunga. Karena ketimbang merespons dengan kebijakan moneter, mereka cenderung merespons sementara depresiasi mata uang dengan program intervensi untuk mengulur waktu," katanya dalam sebuah catatan kepada investor.

Otoritas keuangan di negara berkembang, seperti Bank Indonesia, harus menggunakan cadangan devisa untuk membeli mata uang dan menopang nilai tukar. Akibat depresiasi, Bank sentral Malaysia mengimbau perusahaan negara untuk memulangkan keuntungan dari investasi asing dan mengkonversinya menjadi ringgit.

Kekhawatiran mengenai penguatan dolar tidak hanya terbatas pada negara-negara berkembang. Jepang dan negara-negara maju lainnya juga sedang berusaha mencegah depresiasi mata uang nasional. Dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 minggu ini di Washington DC, Menkeu Jepang Shunichi Suzuki mengindikasikan bahwa "ada kemungkinan bahwa dolar akan menjadi agenda.

rzn/as

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada