Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Kenapa Penularan Malaria Tak Kunjung Surut di Dunia?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Kenapa Penularan Malaria Tak Kunjung Surut di Dunia?
Iklan

Pada dekade 1990-an, badan amal, pemerintah, dan pegiat filantropi menginvestasikan miliaran dolar untuk satu tujuan: pengendalian malaria. Targetnya adalah mengurangi separuh jumlah kematian global akibat penyakit malaria hingga tahun 2010.

Saat itu malaria merupakan salah satu ancaman kesehatan terbesar di dunia. Setidaknya satu juta orang meninggal akibat gigitan nyamuk anopheles setiap tahunnya, sebagian besar adalah anak-anak.

Baca Juga:

Untuk memutar tren, kampanye "Kalahkan Malaria" secara resmi diluncurkan pada tahun 1998. Dengan dana miliaran dolar AS dari Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, dan Bank Dunia, kelambu anti-nyamuk dan semprotan insektisida disebarkan di wilayah yang terdampak.

Program ini juga memperkenalkan obat-obatan baru untuk mengobati pasien, ketika nyamuk mengembangkan resistensi terhadap klorokuin, obat antimalaria yang lazim digunakan pada saat itu.

Upaya ini berhasil mengurangi hampir separuh jumlah kematian akibat malaria dalam waktu kurang dari dua dekade.

Stagnasi dan kemunduran

Baca Juga:

Namun pada tahun 2015, program eradikasi malaria mengalami stagnasi. Selama beberapa tahun berikutnya, kasus penularan dilaporkan terus meningkat.

Puncaknya pada tahun 2020, kematian akibat malaria secara global mencapai tingkat tertinggi dalam enam tahun terakhir. Dan pada tahun 2022, jumlah kasus malaria di dunia tercatat meningkat hingga lebih dari 248 juta, dibandingkan 230 juta kasus pada tahun 2014.

Perkembangan ini mendorong Nicholas White, peneliti malaria dan profesor pengobatan tropis di Universitas Oxford, Inggris, untuk menerbitkan imbauan kepada WHO di jurnal medis Lancet. Menurutnya, jumlah kasus malaria pada tahun 2000 sama dengan tahun 2022.

Apakah artinya program eradikasi bernilai miliar dolar AS selama ini tidak mampu mengurangi jumlah kasus penularan malaria?

WHO menilai White salah menafsirkan data malaria karena dia tidak memperhitungkan pertumbuhan populasi global. "Jika angka kejadian dan kematian malaria global pada tahun 2000 diterapkan pada populasi yang berisiko setiap tahunnya hingga tahun 2020, investasi yang dilakukan selama 20 tahun terakhir akan berkontribusi pada sekitar 11 juta nyawa yang diselamatkan dan 1,7 miliar kasus dapat dicegah sejak tahun 2000,” tulis WHO.

Meski begitu, lembaga PBB itu juga mengakui, betapa "pesan yang ingin disampaikan soal malaria sudah jelas, bahwa kemajuan telah terhenti."

Perlombaan melawan vektor dan virus malaria

Dalam tanggapannya terhadap White, WHO menjelaskan bahwa Afrika Sub-Sahara, wilayah yang paling terancam oleh malaria, tidak punya dana atau akses layanan kesehatan yang memadai. Pun keampuhan instrumen yang ada dinihilkan oleh "ancaman biologis”, tulis WHO.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepada DW, sejumlah analis meyakini kemunduran dalam perang melawan malaria disebabkan, setidaknya sebagian, oleh kemampuan nyamuk beradaptasi dan menghindari intervensi medis.

Di seluruh dunia, nyamuk anopheles dikabarkan mulai mengembangkan kekebalan terhadap insektisida yang umum dipakai. Sejumlah negara melaporkan, parasit penyebab malaria juga mulai kebal terhadap obat-obatan, kata Jackie Cook, salah satu direktur dari Pusat Malaria di London School of Hygiene and Tropical Medicine, kepada DW.

Selain itu, ada jenis nyamuk baru bernama anopheles stephensi yang muncul di Afrika Timur selama 10 tahun terakhir. Karena tidak seperti vektor malaria lainnya, stephensi dapat menyebar di perkotaan sehingga menimbulkan ancaman bagi warga yang tinggal di daerah padat penduduk.

"Pengendalian malaria harus dilihat bagai perlombaan senjata,” kata Umberto D'Alessandro, peneliti malaria dan Kepala Unit Dewan Penelitian Medis London School of Hygiene and Tropical Medicine di Gambia, kepada DW.

Menurutnya, nyamuk atau parasit akan cepat beradaptasi dengan semua jenis insektisida atau obat-obatan baru. Sebab itu, "pengembangan metode intervensi yang lebih efisien adalah proses yang terus berjalan.”

Minimnya dukungan bagi sains

Repotnya, dana penelitian malaria terus menurun dan mencapai level terendah dalam 15 tahun terakhir pada tahun 2022, menurut laporan WHO.

"Pada tahun 2007, Bill dan Melinda Gates mengumumkan bahwa mereka ingin menghilangkan sepenuhnya malaria saat mereka masih hidup, yang menurut saya mustahil terjadi. Tapi ada dorongan besar untuk mengupayakannya," kata Cook. "Jelas memang ada sedikit keberhasilan, tapi saya pikir orang-orang mulai menyadari bahwa ambisi ini bukan hal yang mudah diwujudkan."

Dalam laporannya tahun 2023 lalu, WHO mengkaitkan kemunduran di 11 negara dengan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, konflik yang sedang berlangsung, dampak pandemi COVID, kurangnya pendanaan, dan masalah lain seperti resistensi insektisida.

Vaksin juga mulai berperan dalam memerangi malaria. Dua vaksin malaria, RTS,S dan R21/Matrix M, telah mendapat persetujuan WHO. Distribusi RTS,S telah dimulai, sedangkan peluncuran R21 akan dimulai pada Mei 2024. Para ahli mengaku optimis, tetapi seraya memperingatkan bahwa vaksinasi malaria bukan solusi terbaik.

(rzn/as)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada