Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Melihat Nasib Kaum Minoritas dari Kasus Persekusi di Tangsel

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Melihat Nasib Kaum Minoritas dari Kasus Persekusi di Tangsel
Iklan

Media sosial sempat digemparkan dengan beredarnya sebuah video yang dinarasikan sebagai aksi penggerebekan atau pembubaran paksa kegiatan ibadah doa Rosario di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

Kejadian ini menambah daftar panjang kasus persekusi pada kelompok minoritas agama di Indonesia, demikian seperti diungkap oleh Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Beliefs (ISFORB).

Baca Juga:

Berdasarkan hasil penelitian ISFORB, tren diskriminasi terhadap kelompok minoritas telah meningkat pascareformasi. Dan di masa pemerintahan Jokowi, kasus semacam ini semakin meningkat.

Hal ini dikuatkan oleh data yang disampaikan oleh lembaga SETARA Institute yang fokus dengan isu Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Data SETARA mengungkap, bahwa dalam periode tahun 2007 hingga 2022, terdapat setidaknya 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia.

SETARA Institute menilai peristiwa di Tangsel itu merupakan cerminan dari lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia.

"Persekusi biasanya dipicu aktor yang menyulut kebencian"

Baca Juga:

Dalam wawancara kepada DW, Ketua ISFORB, Hurriyah, menjelaskan bahwa persekusi selalu diawali dengan adanya aktor yang memicu tindakan tersebut. Aktor ini, kata Hurriyah, biasanya membuat pernyataan-pernyataan yang bernada kebencian, mencap hingga memberikan stigma terhadap kelompok minoritas. Sehingga, hal ini berdampak pada pola pikir masyarakat sekitar.

Pernyataan Huriyah tersebut pun selaras dengan hasil konferensi pers pengungkapan kasus yang dilakukan oleh Polres Tangerang Selatan pada Selasa (07/05).

Dalam kronologi resmi yang dikeluarkan pihak kepolisian, kejadian disebut bermula saat seorang tersangka berinisial D, berupaya membubarkan kegiatan doa Rosario itu dengan cara berteriak. Namun, isi dari ujaran intimidasi tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh pihak kepolisian.

Kapolres Tangsel AKBP Ibnu Bagus Santoso mengatakan pihaknya telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini. Keempat tersangka ini disangkakan dengan pasal soal pengeroyokan dan pemilikan senjata tajam. Dan dari sejumlah pasal yang diterapkan, tersangka dapat didakwa dengan kurungan maksimal lima tahun kurungan penjara.

Kepada DW, Hurriyah mengaku setuju dengan pasal-pasal yang telah disangkakan kepada para tersangka tersebut. Meski begitu, dia meminta agar kasus ini terus dikawal, lantaran menurutnya, ada preseden buruk soal perkara persekusi yang pelakunya bebas dari hukuman.

Dia juga berpendapat bahwa negara harus hadir dalam menegakkan hukum dan menjamin kebebasan beragama untuk semua warga.

"Jadi negara tidak perlu masuk ke ranah agama, dalam artian memperdebatkan apakah ini bentuk penistaan atau bukan, apakah ini pelanggaran rumah ibadah atau bukan. Tetapi, yang perlu dilakukan oleh negara itu memproses orang-orang yang melanggar kebebasan beragama kelompok lain," tutur Hurriyah.

Aturan negara bermasalah?

Kepada DW, Hurriyah menjelaskan bahwa ada banyak pola-pola gangguan keagamaan yang menimpa kelompok minoritas. Tindakan itu dapat berupa gangguan saat melakukan ibadah atau terhadap rumah ibadah, hingga gangguan terhadap individu atau kelompok yang didasari atas agama.

Dan saat ditanya soal kehadiran negara dalam mengakomodasi kelompok minoritas, Hurriyah menjawab bahwa sumber masalahnya terletak pada tatanan kebijakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurutnya, pemerintah Indonesia punya beragam aturan yang justru memfasilitasi agama atau kelompok tertentu, meski tak merinci aturan apa saja yang ia maksud.

Huriyah bahkan menyebut negara turut menghadirkan kebijakan yang sengaja mendiskriminasi kelompok agama tertentu. Terkait hal ini, ia mencontohkan Surat Keterangan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang sebelumnya dikeluarkan pemerintah.

"Jadi di sisi regulasi, menurut saya negara memang masih punya banyak PR. Tidak memberikan perlakuan yang sama dan setara kepada semua agama di Indonesia," ujar Hurriyah kepada DW.

Negara juga punya permasalahan dalam menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan keyakinannya, kata Hurriyah. Menurutnya, hal ini tergambar jelas dalam SKB 2 Menteri terkait pendirian rumah ibadah yang bermasalah. Dia menyebut pendirian rumah ibadah di Indonesia punya syarat yang "ketat dan menyulitkan” kelompok minoritas.

"Kebijakan yang dibuat negara, peraturan kementerian itu, dibuat dengan cara pandang kelompok mayoritas, yaitu muslim," ujar dia.

Hurriyah juga menilai bahwa kelompok mayoritas sering kali hanya melihat praktik ibadah agama lain dengan logika berpikir sendiri. Padahal, banyak aktivitas ibadah atau kegiatan keagamaan kelompok minoritas yang menurutnya tidak dipahami oleh kelompok mayoritas.

"Sehingga, kita mengasumsikan bahwa apa pun yang dilakukan semuanya adalah bentuk ibadah. Dan, karena ada aturan kementerian, regulasi kementerian yang memberi syarat untuk izin rumah ibadah, maka itu dijadikan justifikasi oleh masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan penolakan, untuk melakukan persekusi terhadap kelompok lain," terang Hurriyah.

Hurriyah pun mengaku pihaknya beserta kelompok organisasi masyarakat lain yang fokus dengan isu KBB telah melayangkan masukan dan evaluasi kepada pemerintah. Salah satunya adalah menuntut pemerintah menghapus SKB-SKB kementerian yang menurut Hurriyah justru menjadi pemicu terjadinya persekusi.

Nasib minoritas pascapemilu 2024

Berbicara soal masa depan kelompok minoritas di Indonesia, menurut Hurriyah keadaannya bakal cenderung sama.

Berkaca dari pemerintahan SBY dan Jokowi, menurutnya ada kecenderungan pemerintah selalu mengakomodasi kepentingan kelompok Islam konservatif. Dan presiden terpilih, Prabowo Subianto, menurutnya juga berpotensi lakukan hal serupa. Pasalnya, rekam jejak pada Pilpres 2014 dan 2019 memperlihatkan Prabowo sebagai seorang politisi yang dekat dengan kelompok konservatif.

Hurriyah juga menyebut bahwa masyarakat Indonesia masih akan tetap dihadapkan dengan politisi-politisi sekuler yang sering menggunakan kebijakan keagamaan untuk mendapat dukungan kelompok mayoritas.

Sehingga, dia menduga pemerintah ke depan akan cenderung membuat kebijakan populis yang didukung suara mayoritas meskipun merugikan kelompok minoritas. "Itu pola yang saya kira paling menonjol di Indonesia pascareformasi," pungkas Hurriyah.

(mh/gtp)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada