Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Studi: Puasa Satu Minggu dari Media Sosial Bisa Tingkatkan Percaya Diri

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Studi: Puasa Satu Minggu dari Media Sosial Bisa Tingkatkan Percaya Diri
Iklan

Pinggang ramping, bokong sintal, dan kaki jenjang - banyak anak muda yang sulit lepas dari gambaran “kecantikan idaman" semacam itu di jejaring sosial seperti Instagram dan TikTok. Pasalnya, video yang menampilkan konten seperti itu terus-menerus ‘nongol‘ di feed (umpan) media sosial mereka.

Selain itu, ada juga video yang menampilkan tren berbahaya. Fenomena thigh gap (celah paha) alias berlomba-lomba punya jarak kedua paha saling berjauhan (yang menandakan betapa kurusnya mereka) misalnya, sudah dipamerkan para oleh remaja putri secara online sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu. Celah renggang di antara kedua paha yang terlihat jelas, konon dapat tercapai melalui pengaturan pola makan dan pelatihan meditasi.

Baca Juga:

Thigh gap kini sering disebut legging legs atau “kaki legging” karena celah tersebut terutama terlihat jika si pemilik pahanya memakai celana legging yang ketat.

Namun fakta bahwa hal tersebut sulit dicapai oleh sebagian besar perempuan dengan berat badan yang sehat, belum tersebar luas. Misalnya, di Google, kita dapat menemukan pertanyaan yang disarankan seperti "Apakah celah paha yang sempit itu sehat?" atau "Bagaimana cara mencapai pose celah paha di antara kedua kaki saya?". Dalam tren waist challenge (tantangan pinggang), pinggang harus sangat ramping, sampai-sampai orang lain dapat merengkuhnya untuk minum air dari botol.

Terkadang ada tekanan tantangan yang sedikit lebih halus, misal: “Apa yang saya makan dalam sehari`?” Nah, ini juga merupakan tren yang bertahan lama dan populer yang dapat ditemukan di Instagram dan TikTok.

Baca Juga:

Para remaja putri dengan cermat merekam apa yang seharusnya mereka makan sepanjang hari. Biasanya, Anda tidak melihat “dosa kecil“ seperti gorengan misalnya, melainkan serangkaian hidangan berprotein tinggi dan bebas gula.

Ada juga yang namanya tren “body positivity”, yaitu penerimaan positif terhadap tubuh sendiri, terlepas dari apakah ia gemuk, kurus, atau disabilitas. Namun bergantung pada perilaku penelusuran kita di media sosial, maka konten semacam itu malah jadi tenggelam - karena hanya apa yang dicari dan dikonsumsi pengguna yang disarankan oleh algoritme sebagai konten selanjutnya yang muncul di layar media sosial.

Bahkan istirahat seminggu dari media sosial pun sudah bisa menunjukkan efek yang jelas

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggambaran diri ini juga memengaruhi rasa percaya diri (pede). Sebuah studi yang dilakukan oleh York University di Toronto, Kanada, kini menemukan dampak dari istirahat dalam menggunakan media sosial setelah jangka waktu singkat.

Bahkan selama seminggu tak menggunakan media sosial telah meningkatkan rasa percaya diri (dari segi performa, penampilan, sosial) di kalangan remaja putri, termasuk meningkatkan sikap positif terhadap tubuh sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam penelitian yang dipublikasikan di database spesialis ScienceDirect, 66 siswi dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengonsumsi media sosial seperti biasa, kelompok lainnya harus menjauhkan diri dari semua media sosial selama seminggu.

Para peserta pertama-tama ditanya: Seberapa puas mereka dengan tubuh mereka? Apakah mereka ingin tampil seperti fotomodel? Seminggu kemudian, para peserta itu diwawancarai lagi. Sensasi tubuh perempuan yang istirahat selama seminggu dari medsos itu membaik. Dampaknya sangat jelas terlihat, terutama bagi para perempuan yang menginternalisasikan tubuh langsing yang ideal.

Menurut penulis penelitian, efeknya sedemikan besar sehingga jarang terlihat dalam tes psikologi. Namun, ada kemungkinan bahwa jeda dari medsos tersebut tidak hanya menghasilkan nilai-nilai yang lebih baik, tetapi juga mengubah perilaku waktu luang. Daripada menghabiskan waktu menggunakan ponsel, para peserta mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, bersama teman, atau berolahraga. Semua kegiatan ini berkontribusi pada peningkatan kesehatan mental.

Apa yang dilakukan operator medsos terhadap hal ini?

Sejauh ini langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini tampaknya masih sedikit. Banyak anak muda mungkin merasa sulit melepaskan diri dari jejaring sosial. Kecenderungan bermain medsos terus meningkat selama bertahun-tahun.

Perusahaan Meta mengumumkan pada bulan Januari tahun ini bahwa mereka akan menyembunyikan konten yang tidak pantas di Facebook dan Instagram dari kaum muda – sejauh penggunanya mencantumkan usia mereka secara jujur.

Namun peraturan itu sering kali tidak berdampak. Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, misalnya, dimaksudkan untuk melindungi anak di bawah umur di internet dari konten yang bermasalah, misalnya yang mengarah pada gangguan pola makan. Ketentuan tersebut ditetapkan kepada operator jaringan medsos agar konten yang relevan harus dihapus atau disembunyikan. Namun studi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil “Reset.tech” menunjukkan bahwa hanya 30 persen konten seperti itu yang telah dihapus.

Platform video TikTok lebih parah lagi, karena proporsi konten seperti itu yang dihapus jauh lebih kecil – meskipun ada laporan terkait. Namun setidaknya: tagar “legginglegs” kini telah diblokir. (ap/hp)

*Sumber informasi: Science Direct

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada