Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

75 Persen Dana Insentif Sawit Mengalir ke Korporasi, Ini Harapan Serikat Petani

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menanggapi soal 75 persen dana insentif sawit yang mengalir ke perusahaan besar.

18 Juli 2023 | 14.09 WIB

Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman dalam konferensi pers di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada Kamis, 22 Desember 2022. TEMPO/Riani Sanusi Putri
Perbesar
Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman dalam konferensi pers di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada Kamis, 22 Desember 2022. TEMPO/Riani Sanusi Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menanggapi soal 75 persen dana insentif sawit yang mengalir ke perusahaan besar. Menurutnya, kondisi tersebut terjadi lantaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak bekerja secara independen melainkan di bawah koordinasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Tata kelola BPDPKS itu harus mandiri jangan bernaung di bawah Kemenkeu. Karena pengambilan keputusan di sana juga sangat susah untuk mandiri dari aparat birokrat sendiri," kata dia saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat pada Selasa, 18 Juli 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun salah satu tugas utama BPDPKS adalah menghimpun pungutan ekspor sawit dan mengelola dana insentif. Namun, tutur Darto, selama ini dewan pengawas BPDPKS berisi aparat pemerintahan dan para pengusaha anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki. 

Darto menilai kebijakan insentif dari dana BPDPKS mudah diintervensi oleh segelintir perusahaan besar. Selain soal insentif, menurut dia, perusahaan juga berpotensi mendapatkan kemudahan seperti kenaikan batas kuota ekspor. 

"Bayangkan BPDPKS yang mengelola Rp 160 triliun itu dewan pengawasnya dari Gapki dan dirjen para menteri yang membuat kebijakannya sendiri. Tidak benar ini," ucapnya. 

Di sisi lain, petani kecil hanya mendapatkan sekitar 25 persen persen insentif untuk peremajaan tanaman. Padahal 40 minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dihasilkan oleh petani kecil atau perkebunan rakyat.

Petani kecil hanya mendapatkan sekitar 25 persen persen insentif 

Senada dengan Darto, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menilai BPDPKS dikuasai kepentingan satu kelompok. Pasalnya, ia melihat mayoritas yang mendapatkan manfaat dari dana lembaga tersebut adalah perusahaan besar. 

"Ini yang sebenarnya ingin kami restruksi agar ada keseimbangan antara kepentingan petani dan kepentingan buruh sawit, yang sering dilupakan," tuturnya. 

Terlebih, aliran insentif dari BPDPKS, menurutnya lebih banyak mengalir untuk program biofuel dan biodiesel. Karena itu, ia berharap pemerintah dapat melakukan keseimbangan agar dana BPDPKS juga dirasakan manfaatnya oleh petani dan buruh.  

Untuk mencapai keseimbangan tersebut, ia menyarankan agar Dewan Pengawas BPDPKS tak hanya terdiri dari birokrat kementerian dan pengusaha, tetapi juga representasi dari petani dan buruh sawit. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat BPDPKS dapat lebih berimbang. 

Melansir dari Koran Tempo, tercatat dana insentif sawit dari BPDPKS terbesar mengalir ke perusahaan Wilmar Group milik Martua Sitorus. Di posisi pertama PT Wilmar Bionergi Indonesia menjual CPO untuk biodiesel dengan volume 1,5 juta liter dan menerima insentif pada 2021 hingga Rp 8,44 triliun. Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dengan volume biodiesel 1,4 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 7,09 triliun. 

Lalu PT Sari Dumai Sejati yang menjual CPO untuk biodiesel sebanyak 510,3 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 2,72 triliun. Kemudian PT Sinar Mas Agro Resources and Technology mendapatkan insentif sebesar Rp 2,24 triliun dengan volume biodiesel sebesar 422,4 juta liter. 

Kemudian PT Musim mas menerima insentif Rp 5,05 triliun dengan volume penjualan CPO untuk biodiesel 977,5 juta liter. Selanjutnya PT LDC Indonesia dengan volume  biodiesel sebesar 456,2 juta liter, menerima insentif sebesar Rp 2,38 triliun. Lalu PT Pelita Agung Agroindustri menerima insentif Rp 2,18 triliun dengan volume biodiesel 422 juta liter.

Selanjutnya PT Multi Nabati Sulawesi dengan volume biodiesel sebanyak 402 juta liter dan insentif yang diterima mencapai Rp 2,13 triliun. PT Permata Hijau Palm Oleo juga mendapatkan insentif tinggi Rp 2,08 triliun dengan volume biodiesel sebesar 409 juta liter. 

Sedangkan PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan insentif Rp 2,01 triliun dengan volume penjualan ke biodeisel sebesar 391 juta liter. Lalu PT Tunas Baru Lampung mendapat insentif sebesar Rp 1,89 triliun dengan volume biodiesel 356,5 juta liter. PT Sinarmasa Bio Energy mendapatkan insentif sebesar Rp 1,88 triliun dengan volume biodiesel 369,7 juta liter. 

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus