Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah membekukan izin edar obat Albothyl dan meminta agar obat ini ditarik dari pasar. Keputusan ini dilakukan setelah BPOM mengkaji aspek keamanan policresulen yang terkandung dalam Albothyl.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selaku pengedar Albothyl di Indonesia, PT Pharos Indonesia menyatakan siap mematuhi perintah BPOM. Dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 16 Februari 2018, Direktur Komunikasi Perusahaan PT Pharos Indonesia Ida Nurtika menyatakan menghormati keputusan BPOM. "Kami menghormati keputusan BPOM yang membekukan izin edar Albothyl hingga ada persetujuan perbaikan indikasi. Kami juga mematuhi keputusan Badan POM untuk menarik produk ini dari pasar," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penarikan produk Albothyl, menurut Ida, akan dilakukan dalam waktu cepat dari seluruh wilayah Indonesia serta akan terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan BPOM. Dia melanjutkan, Albothyl adalah produk yang sudah lebih dari 35 tahun beredar di Indonesia. "Merek ini berada di bawah lisensi dari Jerman yang dibeli perusahaan Takeda dari Jepang. Selain di Indonesia, Albothyl digunakan pula di sejumlah negara lain," ujarnya.
Ia juga menyatakan, Pharos Indonesia adalah perusahaan farmasi nasional yang selama 45 tahun berkontribusi terhadap pembuatan dan penyediaan obat-obat dan suplemen kesehatan bagi masyarakat Indonesia. "Pharos telah menerapkan cara pembuatan obat yang baik dalam seluruh rangkaian produksi, mulai pengujian bahan baku hingga produk jadi yang dihasilkan," ujarnya.
Albothyl ditarik dari peredaran setelah BPOM mengkaji aspek keamanan policresulen yang terkandung dalam Albothyl. "BPOM RI membekukan izin edar Albothyl dalam bentuk cairan obat luar konsentrat hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui," tulis pihak BPOM dalam keterangan resminya, Kamis, 15 Februari 2018.
Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk hemostatik dan antiseptik serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi).
Dari hasil kajian yang dilakukan bersama ahli farmakologi dari universitas dan klinisi dari asosiasi profesi, BPOM memutuskan bahwa obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat tidak boleh digunakan.
BPOM menyatakan telah secara rutin melakukan pengawasan keamanan obat beredar di Indonesia. Pengawasan itu dilakukan melalui sistem farmakovigilans demi memastikan bahwa obat yang beredar tetap memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu yang telah ditetapkan.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan, di antaranya efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi (noma like lession). BPOM pun kemudian menginstruksikan produsen Albothyl, yakni PT Pharos Indonesia dan industri farmasi lain yang terkait untuk menarik obat beredar.
PT Pharos Indonesia dan industri farmasi lain yang memegang izin edar obat mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat diperintahkan untuk menarik obat dari peredaran. Penarikan harus dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembekuan Izin Edar.