Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana ekspansi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive di Indonesia berpotensi menghambat transisi energi bersih dan meningkatkan biaya listrik nasional. Analisis terbaru think tank pusat kajian energi global EMBER mengungkap kebijakan ini bertentangan dengan target puncak emisi 2030 dan strategi Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia EMBER, Dody Setiawan mengungkapkan, memproduksi material untuk teknologi hijau dengan sumber energi beremisi tinggi merupakan pilihan yang kurang tepat. “Indonesia seharusnya mulai mengurangi emisi industri smelternya dengan energi terbarukan," ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Tempo pada Jumat, 21 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dody, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) mencakup penambahan 26,8 gigawatt (GW) PLTU dalam tujuh tahun ke depan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 20 GW merupakan PLTU captive yang akan melayani industri, khususnya smelter di Sulawesi dan Maluku Utara. Padahal, Indonesia telah menargetkan penghentian penggunaan batu bara pada 2040.
Alih-alih berkurang, kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara justru diproyeksikan tumbuh 62,7 persen dan baru mencapai puncak pada 2037. EMBER menilai ekspansi ini akan membuat Indonesia terjebak pada sistem kelistrikan mahal, beremisi tinggi, dan semakin tidak kompetitif dibandingkan energi terbarukan.
Dari sisi ekonomi, biaya listrik dari PLTU captive baru diprediksi mencapai US$ 7,71 sen/kWh. Angka ini lebih tinggi dibandingkan biaya pokok pembangkitan PLN yang pada 2020 tercatat sebesar US$ 7,05 sen/kWh dan juga lebih mahal dibandingkan tarif listrik dari energi terbarukan yang berkisar US$ 5,5 hingga US$ 5,8 sen/kWh.
Katherine Hasan, Analis di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mengingatkan ekspansi ini bisa berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar industri. “Mereka yang tinggal di dekat lokasi industri harus menanggung beban kesehatan dan ekonomi tertinggi akibat paparan polusi, belum lagi dampak lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dari penyebaran partikel beracun,” katanya.
EMBER menegaskan evaluasi ulang terhadap ekspansi PLTU captive sangat diperlukan. Selain itu, percepatan transisi ke energi terbarukan dan penegakan regulasi emisi harus menjadi prioritas agar Indonesia tetap berada di jalur yang sesuai dengan komitmen iklimnya serta menarik lebih banyak investasi energi bersih.
Saat negara-negara lain berlomba-lomba meninggalkan batu bara, Indonesia justru memperpanjang ketergantungan pada energi kotor. Keputusan ini dinilai bisa merugikan daya saing industri nasional di masa depan. "Berkomitmen pada jalur yang jelas untuk menghentikan penggunaan batu bara sambil memprioritaskan energi terbarukan akan membantu Indonesia dalam menghadapi tantangan energi global," tutur Dody.
Pilihan editor: Promo HUT BCA ke-68, Ada Cashback Tiket.com hingga Rp 5 Juta