Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi memutuskan untuk membatalkan pengosongan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis kemarin, 28 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan pantauan Tempo, warga pun nampak beraktivitas seperti biasa, tidak ada yang berbeda dari hari sebelumnya. Bahkan, beberapa aparat gabungan juga masih berjaga di posko-posko yang didirikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, Badan Pengusaha atau BP Batam juga terus melakukan pendekatan persuasif kepada warga Rempang agar bersedia direlokasi. Tercatat sudah ada tiga KK di Kelurahan Sembulang yang bersedia secara sukarela untuk pindah ke hunian sementara, pada Senin, 25 September 2023.
Data dari BP Batam per 27 September 2023, sudah ada 317 KK yang mendaftar untuk direlokasi. Sedangkan, yang sudah berkonsultasi sebanyak 467 KK. Setidaknya, terdapat 700 KK lebih yang akan direlokasi akibat terdampak proyek strategis nasional (PSN), Rempang Eco-city.
Sebelumnya, sempat terjadi kericuhan antara warga dan aparat gabungan akibat penolakan relokasi proyek tersebut. Konflik pun semakin memanas ketika masyarakat setempat meminta proyek investasi bernilai hampir Rp400 triliun dari perusahaan Xinyi Group itu dibatalkan.
Lantas, apa sebenarnya penyebab utama kisruh proyek Rempang dan apa janji pemerintah pada warga? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Awal Mula Polemik Pulau Rempang
Pada Kamis, 7 September 2023 sejumlah aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke perkampungan warga di sekitar wilayah Pulau Rempang, Batam.
Kedatangan aparat tersebut adalah guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Rencananya, wilayah tersebut akan dibangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata.
Namun, masyarakat adat menolak kedatangan aparat dan melakukan pemblokiran jalan dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.
Hal tersebut membuat aparat kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja hingga pengamanan BP Batam mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.
Tak hanya itu, aparat juga terus merangsek masuk wilayah Rempang dan memukul mundur para warga lewat gas air mata. Bahkan, semburan gas air mata tersebut sampai ke arah sekolah yang membuat para guru berlarian membawa murid-murid pergi melalui pintu belakang sekolah.
Bentrok ini terjadi karena masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Rempang Eco City.
Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, mereka menolak wilayah tersebut direlokasi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Senin, 11 September 2023, sekitar seribuan masyarakat adat Melayu Kepulauan Riau melakukan unjuk rasa di depan kantor BP Batam. Mereka menyampaikan beberapa tuntutannya.
43 orang ditetapkan sebagai tersangka
Mulai dari menolak penggusuran, mendesak TNI dan Polri membubarkan posko yang didirikan di Rempang Galang, menghentikan intimidasi kepada orang Melayu, dan menuntut Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan penggusuran kampung tua Pulau Galang.
Buntut dari aksi tersebut, sebanyak 43 orang warga Rempang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang terjadi pada 7 dan 11 September 2023.
“Sebanyak 26 ditetapkan sebagai tersangka di Polresta kasus tanggal 11 September, tambah delapan yang tanggal 7 September. Di Polda ada sembilan tersangka, jadi total 43,” ucap Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto di Batam, Kepulauan Riau, Jumat, 15 September 2023.
Menanggapi tentang konflik di Pulau Rempang, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa sebagian warga Rempang tidak memiliki hak alas dalam bentuk apapun. Terlebih, Nyat Kadir yang kala itu menjabat sebagai wali kota Batam periode 2001-2005, tidak lagi menerbitkan izin hak kepada warga baru setelah 2004.
“Pemerintah waktu kita merumuskan antara Pemda Batam yang notabene ex-officio kepala BP Batam, gubernur, dan sebagian Forkopimda, analisisnya karena sebagian yang tinggal di situ tidak punya alas hak, berarti tanah itu dikuasai negara lewat BP Batam,” ucap Bahlil dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu, 13 September 2023.
Meski sebagian lahan di kawasan tersebut dikuasai negara, namun Bahlil mengatakan tidak ingin menggusur warga setempat begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah pun memberikan solusi untuk masyarakat dengan kompensasi berupa tanah 500 meter persegi dan rumah tipe 45 yang sudah diberikan alas hak berbentuk sertifikat.
17 ribu hektare lokasi Eco City
Selama masa pembangunan rumah itu, kata Bahlil, warga yang terdampak akan diberikan uang tunggu untuk mengontrak tempat tinggal. Tetapi, belum selesai perhitungan untuk besaran uang tunggu dilakukan, keadaan sudah memanas.
“Memang ada aspirasi lain jangan Rp1,03 juta per orang (untuk uang tunggu), ada mintanya agak naik, saya kan belum menghitung baik dengan tim, tapi kondisinya sudah kayak begini,” kata Bahlil.
Hal serupa disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto. Dia menegaskan bahwa lahan tinggal yang memicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare tersebut, kata Hadi, merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektar merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Hadi menjelaskan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Hasilnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan tersebut.
Janji Pemerintah pada Warga
Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Kota Batam, agar masyarakat Pulau Rempang mau direlokasi dan mengosongkan wilayah yang akan dibangun menjadi Rempang Eco City tersebut.
Sejumlah janji pun diberikan agar warga setempat bersedia meninggalkan tempat tinggalnya. Adapun beberapa janji pemerintah kepada warga terdampak adalah sebagai berikut.
1. Rumah Seharga Rp 120 Juta dan Tanah 500 Meter Persegi
Salah satu janji pemerintah adalah pemberian rumah seharga Rp120 juta dan tanah seluas 500 meter persegi kepada setiap kepala keluarga yang direlokasi.
Hal ini diungkapkan oleh Wali Kota Batam sekaligus Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi kepada wartawan Tempo pada Jumat, 15 September lalu.
Lahan seluas 450 hektar telah disiapkan untuk membangun 2.700 rumah, lengkap dengan sarana olahraga seperti lapangan sepak bola, sarana pendidikan, kantor pemerintah, dan dermaga. Juga, akan dibangun jalan masuk utama untuk memudahkan akses ke kawasan relokasi.
2. Uang Tunggu Transisi dan Biaya Sewa Rumah
Selain rumah dan tanah, pemerintah juga menawarkan bantuan keuangan kepada warga yang direlokasi.
Rudi menambahkan bahwa setiap individu akan menerima uang tunggu transisi sebesar Rp1,2 juta dan biaya sewa rumah sebesar Rp1,2 juta. Uang ini akan dibayar pemerintah sampai rumah warga selesai dibangun.
3. Hak Pengelolaan Tanah (HPL)
Menteri ATN/BPR, Hadi Tjahjanto, mengungkapkan bahwa tempat relokasi untuk masyarakat Pulau Rempang telah dipersiapkan di Dapur 3, Pulau Galang, dengan luas mencapai 500 hektar.
Adapun salah satu janji penting yang diberikan oleh pemerintah adalah pemberian hak pengelolaan tanah (HPL) kepada warga yang direlokasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa warga akan memiliki hak untuk mengelola tanah tersebut, yang dapat berpotensi meningkatkan kesejahteraan mereka di masa depan.
4. Penyerahan Sertifikat Tanah
Hadi juga mengungkapkan bahwa pemerintah telah berkoordinasi dengan Wali Kota Batam Muhammad Rudi untuk proses pemberian sertifikat tanah kepada masyarakat Pulau Rempang yang akan direlokasi.
Proses inventarisasi dan identifikasi sudah dilakukan, dan 16 titik subjek telah ditentukan. Pemerintah pun berencana untuk langsung menyerahkan sertifikat tanah kepada pemiliknya, sambil melanjutkan pembangunan di kawasan relokasi dan memastikan pemiliknya terus diawasi.
Itulah rangkuman informasi mengenai awal mula kisruh proyek Rempang dan janji pemerintah kepada warga terdampak.
RADEN PUTRI | YOGI EKA SAHPUTRA | MUTIARA ROUDHATUL JANNAH | ANDIKA DWI | MUHAMMAD RAFI AZHARI