Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Muhammad Khayam mengatakan lesunya industri tekstil di Indonesia tidak lepas dari minimnya peran industri permesinan Tanah Air. "Memang kalau melihat industri tekstil, kalau bicara industri hilir itu yang berperan itu adalah di permesinan kan," ujar dia di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2019.
Ia mengatakan produk yang sangat bergantung kepada mesin antara lain tenun dan kain. Saat ini, industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri memang cenderung kurang didukung dengan industri mesin yang mumpuni. Sehingga, masih mengandalkan mesin-mesin impor dari luar negeri.
"Industri permesinan masih belum mendukung," kata Khayam. Akibatnya, industri tekstil lokal pun menjadi kurang bersaing dan kurang fleksibel. Contoh langsung ketidakfleksibelan industri itu misalnya dari segi ukuran kain. Ketika mesin yang diimpor hanya bisa memproduksi ukuran 220 cm, maka tidak bisa lebih lebar lagi.
Lantaran kurang luwes, akhirnya diperlukan impor. Karena itu, Khayam mendorong industri permesinan di Tanah Air ditumbuhkan kembali dan diintegrasikan dengan industri Tekstil dan Produk Tekstil. "Jadi mesin itu dampaknya sangat besar, lihat saja fesyen dan mode kan sekarang zamannya kustom, tapi bahan bakunya dari mana?"
Guna menggenjot daya saing industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri, ia mengatakan teknologi menjadi kuncinya. Sehingga, tidak bisa Indonesia terus menerus mengandalkan mesin dari luar negeri. Karena itu, industri mesin lokal pun perlu dipacu.
"Kan di impor itu paling besar bahan baku dan barang modal, itu besar sekali karena sedikit-sedikit impor, termasuk teknisinya," kata Khayam. "Enggak apa-apa, kita menyadari tapi harus kita kejar, jadi harus ada orang yang bisa bikin mesinnya dan diintegrasikan ke dunia mode dan fesyen."
Belakangan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan pangsa pasar TPT Indonesia di pasar global cenderung stagnan di kisaran 1,5 persen. Angka pertumbuhan tersebut jauh ketinggalan dari Cina yang mencapai 31,8 persen, serta dua negara pesaing utama Indonesia, Vietnam dan Bangladesh yang tumbuh masing-masing 4,59 persen dan 4,72 persen pada tahun 2018.
Kendati, di dalam negeri, laju pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi terus mengalami peningkatan dan mencapai 20,71 persen hingga triwulan II 2019. Pada periode yang sama 2018 lalu, angka tersebut hanya di level 8,73 persen. Kontribusi indsutri tekstil dan pakaian jadi terhadap PDB juga cenderung membaik enjadi 6,68 persen pada triwulan II 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini