Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karaha di Luar Pengadilan
Pertamina kini pusing bukan alang-kepalang. Investor proyek listrik tenaga panas bumi, Karaha Bodas Company (KBC), mengancam akan menyita seluruh aset Pertamina dan anak-anak perusahaannya di luar negeri. Yang terakhir, Karaha Bodas akan menyita aset anak perusahaan Pertamina, Pertamina Energy Trading Limited (Petral), di Hong Kong dan Singapura. Sebelumnya, Karaha juga akan menyita dua tanker yang sudah dijual Pertamina. Ancaman itu muncul karena perusahaan minyak negara ini tak bersedia membayar ganti rugi US$ 260 juta (Rp 2,3 triliun).
Kedua belah pihak sebetulnya sudah mencoba menyelesaikan perkara ini di luar pengadilan. Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone, Rabu lalu, misalnya, mengatakan bahwa Pertamina segera mengirim tim untuk bernegosiasi. Karaha sendiri sebelumnya bersedia menyelesaikan sengketa ini asal Pertamina mau membayar ganti rugi US$ 260 juta itu. Perusahaan ini sebetulnya sudah memberikan diskon 10 persen dari klaim semula US$ 294 juta. Karaha juga menyatakan, jika Pertamina bersedia membayar US$ 36 juta, perkara di Hong Kong dan Singapura akan dicabut.
Kendati demikian, jikapun penyelesaian di luar pengadilan yang ditempuh, seyogianya tak membuat Indonesia harus membayar apa yang dituntut Karaha. Duit hampir US$ 300 juta ini jelas bukan jumlah yang kecil bagi Pertamina, yang kini tengah didera masalah keuangan. Sejauh ini pemerintah Indonesia masih mencoba mengulur waktu. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, misalnya, menyurati Kapolri Da’i Bachtiar agar meneruskan proses pidana dugaan korupsi di proyek Karaha sebagai faktor penekan kepada KBC agar bersedia bernegosiasi di luar pengadilan.
Bank Permata Jadi Dijual
Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI menyetujui rencana pemerintah menjual sahamnya di Bank Permata sebesar 71 persen. Rencananya, penjualan saham pemerintah yang kini masih menguasai 97,17 persen saham Bank Permata akan dilakukan melalui penjualan kepada investor strategis dan melalui bursa saham. Opsinya, 51 persen saham dijual ke investor strategis dan 20 persen lewat bursa atau 71 persen langsung ke investor strategis. Persetujuan itu diberikan dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI, Emir Moeis, mengatakan bahwa DPR dapat menerima rencana pemerintah tersebut asal dengan harga terbaik, manajemen yang profesional, dan mampu meningkatkan kinerja serta nilai bank. Menteri Keuangan Boediono sendiri minta waktu untuk menentukan opsi penjualan, apakah 20 persen dulu kemudian 51 persen atau langsung 71 persen. Direktur Utama PPA, Mohammad Syahrial, menambahkan bahwa bila pola 51 persen plus 20 persen yang diambil, pemerintah akan menjual 51 persen ke investor strategis baru lebih dulu, baru sisanya melalui bursa.
Rencana Impor Gula Gagal
Isu gula ilegal seperti tak ada habisnya. Setelah kasus 73 ribu ton gula ilegal terungkap, pemerintah tampak masih tak yakin jumlahnya hanya sebanyak itu. Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M.S. Soewandi, Selasa pekan lalu, gula ilegal yang masuk ke Indonesia bisa lebih banyak dari yang terungkap. Dia mengungkapkan bahwa departemennya telah memberikan izin impor gula sebesar 410 ribu ton selama Januari-April 2004, namun realisasinya hanya 125 ribu ton atau sekitar 30 persennya.
Menteri Rini menjelaskan bahwa besarnya rencana impor tersebut sudah menghitung kebutuhan gula di seluruh daerah. Karena itu, dia menduga tidak tercapainya rencana tersebut karena gula ilegal yang masuk jauh lebih besar dari yang dilaporkan. Angka realisasi impor itu sangat janggal, karena selama empat bulan pertama tahun ini, tidak pernah terdengar ada kelangkaan gula dan harga gula di tingkat eceran juga stabil. Rini juga mengacu pada temuan pedagang gula terkemuka dunia dari Singapura, Czarnikow Sugar, yang menyebut gula ilegal di Indonesia selalu besar. Tahun 2002, misalnya, ada 1,2 juta ton gula ilegal, dan tahun berikutnya turun menjadi 500 ribu ton.
ICW Selidiki Penjualan Tanker
Penjualan kapal tanker raksasa jenis very large crude carrier milik Pertamina masih menyisakan banyak pertanyaan. Karena itu, kendati sudah dijual, Indonesia Corruption Watch (ICW), bersama Independent Research and Advisory (IRA) dan ekonom Faisal Basri, tetap akan melakukan penyelidikan independen terhadap proses penjualan kapal itu. Mereka membentuk tim untuk mengkaji penjualan tersebut dari berbagai sisi, di antaranya dari kaca mata logika ekonomi, latar belakang keuangan, maupun kewajaran proses tender penjualan.
Peneliti IRA, Lin Che Wei, menjelaskan bahwa pengumpulan data mengenai penjualan itu sudah dimulai tapi belum dianalisis. Pihaknya telah mengumpulkan sejumlah proposal menyangkut financial advisor, proses penjualan kapal, kronologi penjualan, dan sebagainya. Namun pihaknya masih kesulitan memperoleh data mengenai alasan pengadaan kapal tanker itu ketika dibeli direksi Pertamina yang terdahulu.
Menurut Che Wei, tim itu berfokus pada keahliannya. Faisal Basri akan lebih menyoroti dan memverifikasi logika ekonomi di balik penjualan kapal yang berbobot mati 260 ribu ton itu. Sedangkan ICW akan menyelidiki dugaan ketidakwajaran dalam proses penjualan, termasuk peran dan keterlibatan penasihat keuangan Pertamina. Untuk itu, kata Wakil Koordinator ICW, Danang Widoyoko, pihaknya terbuka untuk informasi apa pun dari pihak mana pun mengenai penjualan tersebut.
Telat, Denda Rp 500 juta
Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) harus lebih berhati-hati. Direksi Bursa Jakarta akan memberlakukan peraturan pencatatan baru mulai Senin pekan ini. Perusahaan yang telat menyerahkan laporan keuangan, misalnya, bisa didenda sampai Rp 500 juta. Peraturan baru ini juga meliputi syarat pencatatan perusahaan, kewajiban penyampaian informasi, penghapusan dan pencatatan kembali, serta sanksi bagi emiten yang melanggar. Khusus peraturan mengenai sanksi akan efektif berlaku pada 1 Oktober 2004.
Direktur Utama BEJ, Ery Firmansyah, dalam jumpa pers di Gedung BEJ pada Kamis lalu, mengatakan bahwa sanksi denda ini akan dilaksanakan melalui beberapa tahap. Peringatan tertulis pertama akan diberikan kepada perusahaan dalam jangka waktu 30 hari setelah tenggat terlewati. Setelah itu, peringatan kedua plus denda Rp 50 juta jika sebulan setelah peringatan pertama tidak juga menyerahkan laporan. Peringatan ketiga plus denda Rp 150 juta bagi yang belum juga menyelesaikan laporan keuangan sebulan setelah peringatan kedua. Sebelumnya, bagi yang telat mempublikasikan laporan keuangan, BEJ hanya mendenda Rp 1 juta per hari.
Pemerintah Lepas Merpati
Pemerintah akan menjual sahamnya di PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), dari 100 persen menjadi 49 atau 51 persen, kepada investor strategis. Jika investor strategisnya asing, jumlah saham yang dijual hanya 49 persen, karena saat ini perusahaan asing tidak boleh menguasai mayoritas saham di perusahaan penerbangan. Jika investor yang masuk dari dalam negeri, saham yang dilego bisa sampai 51 persen. ”Rencananya, tahun ini pemerintah akan melepas sahamnya di Merpati. Kita sedang menyiapkannya,” kata Direktur Utama Merpati Nusantara, Hotasi Nababan, Rabu pekan lalu.
Pada tahap pertama, kata Hotasi, pemerintah berencana menghapus sebagian utangnya di Merpati yang mencapai sekitar Rp 225 miliar. Utang ini akan diubah menjadi penyertaan modal pemerintah di Merpati. Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi, Mahmuddin Yasin, menambahkan bahwa pemerintah tidak akan mendapatkan dana sepeser pun dalam penjualan saham tadi, karena hasil penjualan akan dimanfaatkan untuk pengembangan Merpati. ”Dana baru masuk ke kas pemerintah dari penjualan saham perdana ke publik, yang dilakukan setelah penjualan ke investor strategis itu,” katanya.
18 BPR Masuk ’UGD’
Musim gugur industri perbankan di Tanah Air ternyata belum juga usai. Dulu, bank-bank besar yang menjadi korban, kini nasib bank-bank gurem jadi taruhan. Saat ini Bank Indonesia (BI) sudah memasukkan 18 bank perkreditan rakyat (BPR) dalam pengawasan khusus atau special surveillance unit (SSU). Dari 18 BPR yang masuk ”unit gawat darurat” BI itu, 11 bank berada di Jawa Tengah, 4 tersebar di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sedangkan sisanya ada di Jawa Timur.
Menurut Deputi Direktur Pengawasan BPR BI, Sri Mulyati Tri Subari, 18 bank perkreditan itu diberi waktu enam bulan untuk menambah rasio kecukupan modalnya (CAR) minimal 8 persen. Jika mereka tidak sanggup, izin usaha bank yang bersangkutan akan dibekukan alias dijadikan bank beku kegiatan usaha. ”Dari 18 BPR yang masuk pengawasan khusus, hanya 10 persen yang kemungkinan akan dicabut izinnya,” kata Sri kepada pers, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo