Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan hampir semua perusahaan minyak dan gas di seluruh dunia, kecuali Saudi Aramco, merugi pada semester I 2020.
"Penurunan permintaan karena pandemi Covid-19, serta jatuhnya harga minyak dunia, menyebabkan pada semester 1 2020 seluruh perusahaan migas dunia mencatatkan kerugian. Kecuali Aramco, bottom linenya positif tapi turun 72 persen," ujar Nicke dalam pesan tertulis, Jumat, 28 Agustus 2020.
Berdasarkan data yang dilampirkan perseroan, pada semester I 2020, Exxonmobil mencatat kerugian US$ 1,1 miliar, British Petroleum -US$ 21,21 miliar, Total -US$ 8,4 miliar, Shell -US$ 18,4 miliar, Petrobas -US$ 10,41 miliar, Chevron -US$ 4,7 miliar, Conoco Phillips -US$ 1,43 miliar, Eni -US$ 8,66 miliar, serta Pertamina -US$ 0,77 miliar.
"Kerugian Pertamina lebih kecil dibandingkan perusahaan-perusahaan lain dengg memiliki nilai aset setara, misalnya Conoco Philips dan ENI," ujar Nicke. Beberapa langkah efisiensi yang telah dilakukan perseroan, tuturnya, antara lain memangkas belanja modal dan biaya operasional sebesar 30 persen di seluruh grup Pertamina. Di samping itu, melakukan negosiasi kontrak yang mulanya dalam dolar menjadi dalam rupiah.
Semester I 2020, Pertamina mencatatkan kinerja keuangan negatif dengan membukukan kerugian Rp 11 triliun. Nicke mengatakan secara garis besar ada tiga penyebab perseroan akhirnya merugi pada paruh pertama tahun ini.
Pertama, penurunan konsumsi BBM karena pandemi Covid-19. Merosotnya konsumsi tersebut menyebabkan pendapatan dari sektor hilir berkurang 25 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Adapun penurunan penjualan bahan bakar di kota besar selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar bisa mencapai 40 persen hingga 50 persen kondisi normal. "Hilir memberikan kontribusi 80 persen dari total pendapatan Pertamina. Sehingga, penurunan penjualan di Hilir berdampak signifikan pada pendapatan perseroan," ujar Nicke.
Kedua, pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nicke mengatakan kerugian akibat selisih kurs tersebut mencapai US$ 211 juta pada semester I 2020. Pasalnya, 93 persen pengeluaran modal dan biaya operasi perseroan menggunakan dolar, sementara 80 persen pendapatan dalam rupiah.
Ketiga, penurunan harga minyak dunia karena kelebihan pasokan. Faktor ini menyebabkan pendapatan dari hulu migas perseroan turun 20 persen. Sementara, biaya eksplorasi dan eksploitasi relatif tetap.
"Sektor hulu memberikan kontribusi keuntungan 80 persen terhadap total keuntungan Pertamina, sehingga penurunan profitabilitas dari sektor hulu ini berdampak besar pada penurunan profit Pertamina," ujar Nicke.
Meski demikian, Nicke mengatakan saat ini konsumsi BBM di beberapa daerah sudah mulai meningkat. Pada Juli 2020, pendapatan mengalami peningkatan 9 persen dan perseroan membukukan keuntungan operasi US$ 1,2 miliar. Sehingga, pada periode tersebut pun kerugian berkurang menjadi Rp 4,5 triliun.
"Dengan tren positif ini kami yakin dapat meningkatkan kinerja di semester II 2020 ini, dan dapat membukukan keuntungan di tahun ini," ujar Nicke. Ia berharap pandemi Covid-19 bisa diatasi dengan baik sehingga mobilitas dan perekonomian semakin membaik dan dapat mendorong peningkatan konsumsi BBM.
CAESAR AKBAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini