Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan surplus neraca perdagangan Indonesia pada September 2017 mencapai US$ 1,76 miliar, atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Surplus itu berdasarkan pada kinerja ekspor sebesar US$ 14,54 miliar dan impor sebesar US$ 12,78 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari - September 2017 telah mencatatkan surplus US$ 10,87 miliar atau meningkat hingga 69,5 persen dari periode tahun sebelumnya, di mana terdiri dari ekspor US$ 123,36 miliar dan impor US$ 112,49 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan meskipun surplus, kualitas capaian kinerja perdagangan pada September lalu menurun dibandingkan Agustus. "Bisa dibilang mengalami surplus semu, karena kalau berkualitas itu ekspornya naik dan impornya turun, kalau ekspornya turun juga ya surplus pura-pura," ujarnya, kepada Tempo, kemarin.
Bhima melanjutkan hal itu bukan faktor musiman, sebab penurunan ekspor pada September lalu dipengaruhi oleh anjloknya pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit yaitu hingga negatif 9,06 persen dibandingkan Agustus 2017. Menurut dia, terdapat permasalahan ekspor ke negara tujuan utama minyak kelapa sawit khususnya India dan Pakistan. "Karena kedua negara tersebut bersikap lebih protektif terhadap CPO asal Indonesia, salah satunya kenaikan bea masuk."
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan ekspor Indonesia pada September naik 15,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun menurun 4,51 persen jika dibandingkan dengan periode Agustus. "Itu disebabkan penurunan ekspor sektor non migas -6,09 persen, sedangkan ekspor migas naik 12,71 persen," katanya.
Menurut dia, pola yang sama juga terjadi tahun lalu, di mana ekspor turun pada periode Agustus ke September 2016. "Ini musiman dan pergerakannya baru akan meningkat di bulan berikutnya, yaitu puncaknya Desember."
Berdasarkan sektor perdagangan, ekspor migas meningkat 12,71 persen (month to month) menjadi US$ 1,44 miliar, sedangkan sektor pertanian turun -17,39 persen (month to month) menjadi US$ 0,31 miliar. Selanjutnya, industri pengolahan turun -8,44 persen (month to month) menjadi US$ 10,60 miliar.
Sementara itu, untuk nilai impor Indonesia pada September 2017 mencapai US$ 12,78 miliar atau turun 5,39 persen dibandingkan Agustus 2017, atau tumbuh 13,13 persen (year on year). Suhariyanto menuturkan penurunan impor kali ini lebih tajam dibandingkan nilai ekspor, dan terjadi di sektor migas maupun non migas.
"Ini disebabkan oleh faktor musiman karena di September 2016 juga seperti ini," ucapnya. Berdasarkan penggunaan barang, nilai konsumsi turun 5,87 persen (month to month) menjadi US$ 1,13 miliar, bahan baku turun 4,96 persen (month to month) menjadi US$ 9,60 miliar, dan barang modal turun 7,13 persen (month to month) menjadi US$ 2,05 miliar.
"Kenaikan impor tinggi ada di buah-buahan seperti apel, anggur dari Cina, dan yang menurun impor mesin-mesin serta pesawat mekanik," katanya. Adapun negara-negara yang menjadi pangsa impor Indonesia menurut catatan BPS tak banyak berubah, yaitu terdiri dari Cina 26 persen, kemudian disusul Jepang, Thailand, serta negara ASEAN lainnya.
Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness, Eric Sugandi mengatakan penurunan impor tersebut kemungkinan disebabkan oleh perusahaan yang telah cukup mengimpor banyak barang modal hingga Juli 2017, sehingga pada September jumlahnya menurun.
Untuk keseluruhan tahun ini, Eric memperkirakan surplus neraca perdagangan dapat lebih berkelanjutan yaitu mencapai sekitar US$ 13-15 miliar. "Sepanjang tahun ini ada perbaikan kinerja ekspor dan perbaikan harga komoditas juga peningkatan permintaan global dibandingkan 2016 lalu."
GHOIDA RAHMAH