Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Digital Banking dan Teknologi Bank Rakyat Indonesia (BRI) Indra Utoyo mengatakan penggunaan satelit BRIsat kini telah mencapai 70 persen. "Mei tahun depan rencananya sudah full," kata dia di kantornya, Rabu sore, 18 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRISat adalah satelit yang dimiliki dan dikelola BRI. Satelit tersebut diluncurkan oleh roket Ariane 5 di Pusat Antariksa Guyana, Perancis pada 2016 silam. BRISat tidak hanya menjangkau wilayah Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara, Asia Timur, Laut Pasifik dan Australia Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaanya masih untuk memberikan inklusi keuangan. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan program berbasis mobile, sehingga penetrasi layanan bank pelat merah itu bisa semakin jauh.
Selain optimasi aplikasi berbasis mobile, Indra menyebutkan akan mengembangkan beberapa kemampuan penetrasi berbasis teknologi, misalnya memanfaatkan Artificial Intelligence (AI), Machine to Machine (M2M), big data, dan teknologi lainnya.
Menurut dia, sebagai perusahaan berbasis teknologi, satelit perbankan itu menjamin ketersediaan infrastruktur untuk bisa menyentuh daerah-daerah dan memberikan layanan secara cepat. "Jadi bagi kami, memiliki satelit itu artinya kita punya jaminan kapasitas bandwith yang untuk jangka panjang kita miliki sebagai pendukung kebutuhan bisnis," ujarnya.
Sebab, kata dia, ketersediaan transponder dalam negeri terbatas. "Telkom saja hanya punya dua satelit," tuturnya. Hal itu membuat perusahaannya sulit mendapat kepastian adanya slot dalam jangka panjang.
Dengan memiliki satelit itu, dia memastikan BRI lebih efisien dibandingkan dengan menyewa. Dari segi biaya saja, kata dia, satu satelit adalah US$ 200 juta untuk 45 transponder, sehingga satu transponder biayanya sekitar US$ 4 juta untuk beberapa tahun. Sementara biaya menyewa transponder adalah US$ 750 ribu.