Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bagaimana Starlink Menguasai Bisnis Internet Global

Elon Musk terus memperluas bisnis Starlink. Perusahaan itu membidik penyediaan akses Internet hingga ke wilayah terpencil.

7 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karena satelit Starlink berada di orbit rendah, latensi atau waktu perjalanan paket data diklaim sangat rendah.

  • Elon Musk mengakui layanan Starlink tidak cocok untuk area dengan kepadatan pengguna tinggi.

  • Layanan Starlink di Indonesia akan diluncurkan secara resmi pada pertengahan Mei 2024.

BERAWAL dari peluncuran 60 satelit pada 23 Mei 2019, Starlink terus mengembangkan jaringannya hingga kini mencapai 5.402 satelit. Anak usaha SpaceX milik Elon Musk ini diperkirakan bernilai sekitar US$ 150 miliar dan menjadi salah satu perusahaan swasta paling berharga di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bisnis Starlink sedang naik. Per September 2023 dikabarkan ada 2 juta pengguna," kata Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi kepada Tempo, Senin, 6 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SpaceX mulai mengembangkan Starlink pada 2015 dengan berfokus pada upaya memperpendek jarak antara satelit dan bumi. Pada Januari 2015, SpaceX memperkenalkan Starlink kepada publik bersamaan dengan pembukaan fasilitas pengembangan satelit SpaceX di Redmond, Washington.

Dalam peluncuran perdana, SpaceX melepaskan satelit Internet Starlink menggunakan roket Falcon 9 dari Stasiun Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat. SpaceX membutuhkan beberapa kali percobaan hingga akhirnya berhasil meluncurkan 60 satelit pertama. Proyek ini disebut-sebut menelan biaya US$ 10 miliar.

Perusahaan itu mengklaim entitasnya sebagai korporasi pertama yang memiliki konstelasi satelit orbit bumi rendah atau low earth orbit (LEO) untuk menyediakan akses Internet berkecepatan tinggi dan latensi rendah di seluruh dunia. Starlink memiliki konstelasi ribuan satelit yang mengorbit lebih dekat ke bumi, yakni pada jarak sekitar 550 kilometer. Sementara itu, satelit geostasioner biasanya berada pada jarak 35 ribu kilometer.

Karena satelit Starlink berada di orbit rendah, latensi atau waktu perjalanan paket data bolak-balik dari perangkat pengguna ke satelit jauh lebih rendah, yaitu sekitar 25 milidetik. Sedangkan latensi satelit geostasioner sekitar 600 milidetik.

Tersandung di Amerika Serikat

Logo Starlink ditampilkan dalam Mobile World Congress, Barcelona, Spanyol, 28 Februari 2024. REUTERS/Joan Cros/NurPhoto

Starlink baru membuka layanannya secara komersial pada 2021. Federal Communication Commission (FCC) Amerika Serikat bahkan pernah memberikan subsidi kepada SpaceX senilai US$ 885,5 juta untuk mendukung layanan Internet broadband perdesaan di 35 negara bagian Amerika. Namun suntikan dana itu dicabut pada Agustus 2022 karena Starlink dinilai gagal memberikan layanan yang dijanjikan.

SpaceX memproyeksikan jumlah pengguna Starlink mencapai 20 juta pelanggan pada 2022 serta menghasilkan pendapatan sebesar US$ 12 miliar dan laba operasional US$ 7 miliar. Tapi nyatanya jumlah pengguna Starlink pada tahun itu hanya sekitar 1 juta pelanggan, dengan pendapatan berkisar US$ 1,4 miliar. 

Starlink awalnya menyediakan layanan Internet cepat di angka 150-500 megabit per detik. Sayangnya, kecepatan Starlink mulai turun lantaran makin banyak pelanggan yang mendaftar. Elon Musk mengatakan area dengan kepadatan tinggi menjadi tantangan bagi Starlink. Karena itu, dia menilai Starlink tidak cocok untuk kota besar. 

Elon kemudian membidik perdesaan dan wilayah terpencil di Amerika dan Kanada yang membutuhkan perluasan akses digital. Cara ini berhasil membuat Starlink dikenal sebagai perusahaan yang mampu menyediakan layanan Internet di lokasi yang minim infrastruktur digital. Bahkan Starlink berhasil menggantikan layanan Internet Ukraina yang hancur akibat invasi Rusia sejak 24 Februari 2022.

Meskipun layanan Starlink disebut sangat mahal untuk diterapkan, teknologi satelit terbukti dapat menyediakan Internet bagi masyarakat yang tinggal di pelosok atau tempat-tempat yang sulit dijangkau kabel serat optik ataupun menara seluler. Ekspansi Starlink berlanjut ke negara-negara berkembang, termasuk Asia Tenggara.

Filipina menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang bekerja sama dengan Starlink untuk menyediakan layanan Internet di seluruh wilayahnya. Ketika pandemi Covid-19 merebak pada 2020, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan Internet di Filipina lesu. Kebutuhan untuk memperkuat infrastruktur Internet dan menunjang sistem kerja jarak jauh membuat pemerintah negara itu menggandeng Starlink.

Starlink baru memasuki pasar Filipina pada 2022. Pada tahun yang sama, Starlink menjajaki kerja sama dengan Vietnam. SpaceX dan perwakilan pemerintah Vietnam telah melakukan beberapa pertemuan sejak pertengahan 2022 hingga November 2023. Namun diskusi itu terhenti pada kuartal terakhir 2023. 

Belakangan, Starlink juga menghadapi kendala di Filipina. Pada Februari 2024, anggota parlemen Filipina mengungkapkan ada ketidaksepakatan soal aturan batas kepemilikan saham asing maksimal 50 persen. SpaceX berusaha mencari celah dalam peraturan tersebut. Namun revisi undang-undang telekomunikasi Filipina yang disetujui parlemen pada November 2023 tidak memperlunak batasan itu. Walhasil, penyediaan layanan Starlink ditunda.

Terhambat di Vietnam dan Filipina, Starlink berjaya di Malaysia. Pemerintah negara itu memberikan lisensi kepada Starlink pada Juli 2023 untuk menyediakan layanan Internet bagi sekolah, institusi pendidikan tinggi, dan wilayah-wilayah padat penduduk.

Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil berharap layanan Starlink dapat menyediakan cakupan Internet 100 persen di Malaysia, khususnya di daerah-daerah terpencil. Menurut dia, sebesar 3 persen wilayah Malaysia menghadapi tantangan geografis dan infrastruktur.

Starlink kemudian merambah Indonesia. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan layanan Starlink di Indonesia bakal diluncurkan pada pertengahan Mei 2024.

Kini Starlink sudah beroperasi di 37 negara. Menurut Heru Sutadi, pasar Starlink masih terbatas. Sebab, Starlink hanya bisa melayani 40 negara karena bekerja pada sudut lintang di bawah 60 derajat. "Karena itu, Elon Musk akan memaksimalkan semua negara yang sudah terlayani," ucapnya.

Hanya Menjadi Pasar 

Gedung Starlink di Redmond, Washington, Amerika Serikat, 2 Juli 2023. Shutterstock

Dari segi investasi, Heru mengimbuhkan, Starlink membutuhkan modal besar karena harus menerbangkan ribuan satelit orbit rendah. Tantangan lainnya adalah, makin padat penggunanya di satu wilayah, makin rendah pula kecepatan akses Internetnya. Konsekuensinya, untuk menjaga kualitas layanan, Elon harus menerbangkan lebih banyak satelit. Saat ini saja, menurut Heru, mulai banyak pelanggan Starlink yang mengeluhkan penurunan kecepatan.

Heru menilai seharusnya SpaceX menerbangkan 12 ribu bahkan 34.400 satelit LEO. Sedangkan sekarang baru sekitar 5.000 satelit. "Jadi Starlink tidak berinvestasi di negara-negara tertentu, melainkan menempatkan satelit LEO di orbitnya. Negara-negara yang menerima layanan satelit sebetulnya hanya menjadi pasar," ujarnya.

Pengamat informatika dari Institut Teknologi Bandung, Agung Harsoyo, mengatakan Starlink melakukan strategi bisnis yang menguntungkan. Pasalnya, perusahaan itu tak hanya menjajal model business-to-customer (B2C), tapi juga business-to-business (B2B). Seperti diketahui, PT Telkom Satelit Indonesia atau Telkomsat bekerja sama dengan SpaceX untuk menyediakan akses Internet hingga ke pelosok desa sejak Juni 2022.

"Bisnis telekomunikasi merupakan bisnis jangka panjang. Sebagai operator global yang melayani seluruh dunia, ceruk bisnis Starlink tersebar di mana-mana," ucap Agung. 

Persoalan Kedaulatan Data

Ihwal penetrasi Starlink ke Indonesia, pakar keamanan siber dan forensik digital Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengingatkan pemerintah soal kedaulatan data. Ia menuturkan jangan sampai stasiun bumi yang digunakan berlokasi di luar negeri agar keamanan data tetap terjaga.

Senada dengan Alfons, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berharap pemerintah mampu menjaga dengan ketat data warga Indonesia. Ia juga menyoroti prinsip persaingan usaha yang sehat dengan penyedia Internet broadband yang sudah ada di Indonesia.

Nailul menekankan, makin banyak pilihan operator Internet, makin banyak masyarakat yang bisa merasakan akses Internet kencang. Dia mengakui persaingan sehat akan mendorong peningkatan kualitas layanan. "Starlink bisa menjadi pesaing Telkom untuk peningkatan kualitas. Tinggal kita melindungi data pribadi masyarakat."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus