Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

CSIS Beberkan Bahaya Dominasi Investasi Cina di Indonesia

CSIS menilai bertumpunya perekonomian Indonesia terhadap investasi Cina sangat berisiko bagi perekonomian dalam negeri.

1 Juli 2024 | 21.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Peneliti Ekonomi Center of Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitradi, menjelaskan bahaya dominasi investasi Cina di Indonesia, khususnya di sektor mineral dan pertambangan. Kata Dandy, bertumpunya perekonomian Indonesia terhadap investasi Cina sangat berisiko bagi perekonomian dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau Indonesia hanya bertumpu pada investasi Cina, lalu di saat bersamaan misalnya AS mengenakan pajak tambahan untuk barang Cina, maka guncangan perekonomian di sana juga berdampak ke Indonesia," kata Dandy kepada Tempo, Senin, 1 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurutnya, perlu upaya diversifikasi investasi agar iklim investasi dalam negeri bisa lebih stabil. Dengan beragamnya investasi dari negara asing, Dandy memperkirakan akan membangun daya saing yang kuat untuk meningkatkan standar lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Lebih lanjut, Dandy mengatakan ketergantungan akan invesatasi negara tirai bambu itu disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menciptakan investasi berkelanjutan atau ramah lingkungan. 

Dandy melihat selama ini Cina memanfaatkan kondisi tersebut dengan mengguyur investasi yang cukup besar. Saat ini, kata dia, investasi Cina hampir menyentuh angka 50 persen di sektor pertambangan. "Jadi pemerintah memang condongnya ke Cina karena lebih friendly dan tidak menerapkan standar yang tinggi. Cina juga termasuk negara yang lemah dalam hal ini. Tapi, kan, ini untuk jangka panjang adalah masalah," kata Dandy.

Dandy mencontohkan, ketika perekonomian Cina terguncang dan terjadi over kapasitas produksi, dampaknya langsung dirasakan di Indonesia. Hal tersebut bisa saja terjadi di sektor pertambangan dan pembangunan yang banyak melibatkan modal dari Cina.

Untuk itu, Dandy mendorong agar pemerintah punya regulasi yang progesif dalam peningkatan standar lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh investasi. Menurut dia, posisi tawar Indonesia sangat penting, terlebih dalam menghadapi ancaman krisis iklim dan target bebas emisi pada 2060.

"Kalau saat ini kami melihat pemerintah tidak terlalu peduli terhadap dampak lingkungan yang buruk. Cina melihat Indonesia mau-mau saja karena lagi butuh investasi," ujarnya.

Kendati demikain, saat ini Dandy belum melihat kebijakan pemerintah untuk menata agar investasi asing sejalan dengan ekonomi berkelanjutan.  "Sepertinya pemerintah belum ada kebijakan yang mengarah ke sana," katanya.

Bonanza nikel dan geliat hilirisasi adalah pemicu mengalirnya investasi asing, khususnya dari Cina dan Hongkong di masa rezim Jokowi. Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), kedua negara itu baru menyumbang 5,1 persen terhadap total modal asing. Persentasenya terus menggelembung hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 30,1 persen terhadap total investasi asing dalam negeri.

Dihubungi terpisah, periset dari Transisi Bersih, Adurrahman Arum Rahman, mengungkapkan tren tersebut akan menjadi ganjalan bagi Indonesia untuk mencapai nett zero emission 2060. Sebab, kata Rahman, demam nikel justru mendorong peningkatan eksploitasi batu bara.

Rahman bilang dua mineral itu kini saling terkait. Sebab, dalam industri hilirisasi nikel, pemerintah merestui bagi modal asing untuk bikin PLTU batu bara baru. Jumlah PLTU untuk menopang industri smelter nikel itu diproyeksikan akan berkapasitas mencapai 25,2 gigawatt. Jumlah itu setara 72 persen dari kapasitas total PLTU yang ada saat ini yaitu 34,8 gigawatt.

“Program hilirisasi yang menggunakan energi batu bara tidak koheren dengan program bebas emisi. Ini seperti menguras air kolam, sementara pada saat yang sama mengisi kolam dengan air yang baru. Program hilirisasi dapat menggagalkan program bebas emisi yang berbiaya sangat mahal,” katanya.

NANDITO PUTRA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus