PARA produser dikabarkan marah oleh kecaman juri Festival Film
Indonesia 1977 pekan lalu. "Calon penonton golongan atas bisa
kabur mendengar itu", kata seorang produser. Tapi benarkah bahwa
pasaran film Indonesia ditentukan oleh pendapat juri festival
tahunan? Mungkin tidak. Masalah pemasaran mungkin masalah
kemampuan P.T. Perfin.
PT Perfin didirikan tahun 1975 untuk melaksanakan SK 3 Menteri
(Penerangan, P&K dan Dalam Negeri) yang memberi proteksi pada
industri film nasional. Zulharmans, selama ini dikenal sebagai
ketua PWI Jaya, diserahi tugas memimpin PT Perfin sejak hampir
setahun lalu. Zul, demikian ia dipanggil, berkantor di komplex
Blavatsky, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta. Stafnya sedikit,
tapi tantangannya berat.
Sesekali Zul, sambil makan goreng paru, teringat pada masa jaya
AMPAI, asosiasi perfilman Amerika di Indonesia. Bill Palmer yang
memimpin AMPAI nerpengaruh ketika itu, terutama di kalangan
distributor film dan pemilik bioskop. Sejak ia diganyang tahun
1964, zaman konfrontasi, belum ada organisasi distribusi film
lain di negeri ini yang begitu disegani, bahkan sangat didengar,
seperti AMPAI.
Dengan SK 3 Menteri, jika tidak dicabut, PT Perfin akan bisa
juga tampil sebagai distributor besar di bidang perfilman
nasional. Setidaknya itulah kemauan Zul. Buat sementara, sudah
ada terdengar julukan (terutama dari golongan anti-Perfin)
terhadapnya sebagai Bill Palmer kecil.
Bahwa ia sudah mulai didengar, terbukti dari kepatuhan semua
bioskop di DKI (136 jumlahnya), Jawa Timur (133) dan Sulawesi
Selatan (39) memutar produksi nasional. Sesungguhnya wajib-putar
itu berlaku untuk seluruh Indonesia. Tapi baru di tiga daerah
itulah PT Perfin bisa bekerja.
Bahwa ia belum disegani, terbukti dari kesulitan yang sukar
diatasinya untuk memperluas jaringan pemasarannya ke propinsi
lain. Pasar "gemuk" yang sekarang diincernya ialah Sumatera
Utara. Tapi tidaklah gampang baginya membuka cabang di Medan
jika tanpa kerjasama Pemerintah Daerah. Jika tahun ini juga
berhasil PT Perfin memasuki Medan dan kota besar lainnya seperti
Bandung, Semarang dan Yogyakarta, Zul memang membuktikan
kebolehannya.
Sesudah cabang dibuka, belumlah jaminan bagi PT Perfin akan bisa
memonopoli pasaran setempat. Di DKI sekalipun, misalnya, belum
semua produser melepas film mereka melalui PT Perfin. PT
Sinabung Film, PT Safari Sinar Sakti dan PT Alam Siwa - cuma
inilah yang terpegang 100% oleh PT Perfin di DKI. Produser
lainnya, seperti PT Sarinande ((anasnya Nafsu), PT Sinar
Indonesia Medan (Penghuni Bangunan Tua), PT Dipa Jaya
(Jinak-jinak Merpati), PT Madu Segara Film (Karmila) dan PT
Sugar Indah Film (Rahasia Perawan) mengedarkan via flatter,
semacam cukong perantara. Namun, PT Perfin tetap menyediakan
jasanya supaya produk mereka terkena wajib-putar.
Di Ujungpandang, juga dijumpai banyak film nasional yang beredar
dari flatter maupun booker, bukan distributor Perfin. Padahal PT
Perfin sudah punya cabang di kota itu, dan karena itu pula ia
tetap memungut uang jasa 5% berhubung wajib-putar dan jadwal
bioskop diaturnya. Pungutan 570 itu merupakan pajak tambahan,
tentu saja, yang tampaknya akan berlaku di mana pun ia
bercabang. Selama FFI 1977 yang berakhir minggu lalu, ada suara
dari Ujungpandang yang tidak gembira terhadap pajak Perfin itu.
Kehadiran PT Perfln dirasakan perlu terutama sekali bila di
tempat itu penggemar film nasional sedikit. Ternyata di
Ujungpandang, film nasional sudah bisa laris walaupun tanpa
wajib-putar. Bahkan di kota itu sudah ada bioskop mengkhususkan
diri untuk film nasional.
Di Surabaya, penggemar film nasional juga sudah meningkat.
Karmila, misalnya, di kota itu bisa bertahan lebih dari satu
minggu di lima bioskop kelas atas, dengan rata-rata 10.000
penonton. Film One Way Ticket yang dibintangi si cantik
Widyawati (ia dapat piala Citra untuk ini) bertahan sampai 5
hari-pemutaran dengan 5000 penonton.
Tapi ini bukan berarti para pen,usaha bioskop di Surabaya sudah
gembira selalu memutar film nasional. Sedikitnya ada 70 film
nasional, berasal produksi 1973, 1974 dan 1975 yang ditolak
bioskop Surabaya. Walaupun sudah ada PT Perfin di sana,
pengusaha bioskop ternyata tidak bisa dipaksa, juga filmnya
memang jelek. Menurut catatan Moedjimun, Ketua GPBSI Jawa Timur,
sebagaimana dikutip Anshari Thayib dari TEMPO di Surabaya, dari
sekitar 40 judul film nasional yang beredar sejak PT Perfin
berdiri, cuma 9 buah yang "lumayan" hasilnya. Malah kata Sofyan
Ali, direktur bioskop Mitra, sebuah film pernah cuma ditonton
oleh sembilan orang, di gedung yang berkapasitas 900 kursi itu.
"Termasuk dua di antaranya nonton pakai tanda bebas masuk".
Mungkin mutunya payah. Jadi? "Kami mengharapkan agar produser
membuat film yang berbobot", kata Suwono, wakil PT Perrm di Jawa
Timur pada Mansur Amin dari TEMPO.
Berbobot atau tidak, bagi banyak pengusaha bioskop bukanlah soal
utama. Dengan berbobot saja, belum tentu karcis terjual. Ini
bisa dilihat dari pengalaman dua bioskop yang berdekatan Wira
dan Viva--di Tebet, Jakarta Selatan. Wira biasanya dikunjungi
penggemar film nasional. Selalu penuh. Viva jarang memutar film
nasional, sedang pengunjungnya dianggap golongan atas. Ketika
Viva menghidangkan film nasional, bioskop itu sepi. Dipasangnya
pula harga karcis sama dengan Wira ketika film nasional diputar,
tapi Viva tetap tak berhasil menyedot penonton dari Wira. Ini
menyangkut Citra sesuatu bioskop.
Benyamin Tukang Ngibul, pernah dikritik sebagai film konyol,
tapi bioskop tertentu ramai dibuatnya. Ini menyangkut selera
masyarakat, yang jadi landasan policy kaum pengusaha. Berkata
John Tjasmadi, sekjen GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia), dalam suatu wawancara: "Kalau daerahnya memang
daerah Cina, maka ke sana akan kita lempar film Mandarin. Tapi
kalau suatu daerah di mana masyarakat penontonnya adalah
penggemar film nasional, ke sana kita kirim film nasional. Dalam
hal ini kita tinggal menjaga variasi thema cerita, agar penonton
di suatu daerah tidak jenuh, dan pengunjung bioskop ada terus".
Wajib-putar oleh PT Perfin akan sering konflik dengan "peta
selera masyarakat" dari GPBSI, terutama yang menyangkut bioskop
kelas A. Bagi produser, pemutaran filmnya di kelas A itu penting
sekali, suatu prestise. Dalam hal ini PT Perfin jelas melindungi
kepentingan produser.
Direktur Zulharmans mengatakan dia berusaha agar pengusaha kelas
A tidak dirugikan benar. Misalnya, jadwal Perfin diatur
sedemikian rupa hingga film nasional tidak diputar bersamaan
pada bioskop yang berdekatan. Tetapi tidak ada anggota kelas A
yang bisa menghindarkan wajib-putar 2 judul tiap bulan. Keduanya
itu harus berlangsung masing-masing pada akhir pekan. Minimal 2
hari, mulai Kamis dan Jum'at. "Film nasional sekarang mempunyai
hari pekan, sama dengan kaum tani di pedalaman yang pergi ke
pasar pada hari-hari pekan", kata Zul.
Suka atau tidak, l.k. 50 bioskop kelas A di DKI saja mulai Mei
s/d Desember '76 sudah menarik 1,7 juta penonton film nasional.
Bandingkan, tahun 1972 cuma 15,1 juta penonton film nasional di
seluruh Indonesia (lihat grafik).
PT Perfin mencatat lima judul film yang terbesar meraih penonton
DKI di kelas A, masing-masing: Ateng Sok Tahu (220.000), Karmila
(2 13.000), Kampus siru (168.000), Cinta (117.000) dan Si Doel
Anak Modern (103.000). Kelima itu berhasil melampaui 2 hari
wajib, menggembirakan bagi pengusaha bioskop.
Maka "peta selera" itu sesungguhnya bisa berobah dari waktu ke
waktu. Suatu film nasional berbobot yang dulu, sebutlah 3 tahun
lalu, bertahan 2 hari di kelas A, sekarang bisa 4 hari atau
lebih lama. Group Jakarta (Jakarta Theater Menteng dan
International) memutar Kampus Biru selama seminggu (23.624
penonton). Jika film itu diputar 3 tahun lalu di Group Jakarta,
menurut pengamatan seorang produser, mungkin ia bertahan 2 hari
saja.
Perobahan selera ini juga terasa di Bandung, membuat harga film
nasional naik. Mujiarto, pengusaha bioskop di Bandung yang
mempunyai jalur sampai ke Sumedang, Tasikmalaya dan Garut, malah
menyebut harganya sudah "gilagilaan". Kalau PT Perfin mau hadir
di Bandung, kata Mujiarto pada Syarief Hidayat dari TEMPO,
cukuplah ia berfungsi sebagai pengendali harga saja, tidak perlu
sebagai distributor. "Tanpa Perfin (di Bandung), film nasional
sudah berjalan baik".
Adanya pembatasan impor film tampaknya membantu membangkitkan
apresiasi pengusaha bioskop terhadap produk nasional. Tahun ini
pemerintah memberi quota impor untuk 200 judul film saja,
dibanding 300 pada tahun 1976 dan 400 selama 1975. Quota ini
cenderung menurun terus. Melalui empat konsorsium, pelaksanaan
impor film pun makin tertib. Dirjen Radio, Televisi & Film,
Sumadi, mengatakan "tambang emas" sudah tidak dijumlpai lagi
dalam impor film.
Bagaimanapun film impor masih selalu menguntungkan. Ditaksir
labanya mencapai hampir 60% dari seluruh biaya per judul pada
tahun pertama dan sekitar 85% lagi pada tahun kedua. Karena
melihat adanya keuntungan besar itu pula maka pemerintah
mewajibkan perusahaan membuat 1 film nasional bila mengimpor 5
judul.
Tetapi paket semacam itu telah tidak menciptakan iklim perfilman
yang sehat. Kebanyakan film nasional yang jelek, menurut
pengamatan PT Perfin, lahir dari paket itu. Kenapa? Umumnya
dibuat asal jadi. Importir menetapkan biaya produksi serendah
mungkin, katakanlah Rp 30 juta per judul dengan risiko rugi 10%
saja. Sedangkan ia sedikitnya beruntung 100% per judul dari
impor, misalnya seharga Rp 20 juta. Maka 5 judul impor bisa
membawa rezeki Rp 100 juta. Apalah arti rugi 10% dari produksi
Rp 30 juta.
Paket itu bertujuan meningkatkan produksi, terutama setelah
pemerintah melihat cuma 41 film nasional dibuat dalam tahun
1975, dibanding 77 pada tahun 1974. Tetapi apakah kwantitas yang
diandalkan? Kalau ini ditanyakan pada sutradara-produser Wim
Umboh, yang ingin mengutamakan kwalitas, paket itu dianjurkannya
supaya ditinjau kembali.
Produksi berkwalitas sekarang paling sedikit menelan Rp 50 juta,
tetapi ada kemungkinan beruntung 100%, terutama bila sukses di
bioskop kelas A di DKI. Sebagai contoh, Ateng Sok Tahu ditaksir
makan biaya Rp 45 juta. Ia memecahkan rekor dalam meraih
penonton kelas A. Sebanyak 300% akan kembali uangnya, menurut
taksiran PT Perfin.
Bisnis film nasional sebenarnya makin cerah. Permintaan akan
film baik meningkat terus. Dari impor belakangan ini jarang pula
kelihatan film bermutu. "Harus segera direbut situasi sekarang",
kata Wim Umboh. "Jika girah tetap (stabil), produksi 100 judul
setahun bukan mustahil". Itu adalah sasaran produksi dari
pemerintah, yang dianggap orang ramai sebagai sesuatu yang
mustahil.
Mustahil atau tidak, sutradara nasional yang berbobot sudah
berharga Rp 7 juta per film. Jadwal mereka gampang terisi
sepanjang tahun karena meningkat permintaan dari produser.
Tetapi sutradara seperti Teguh Karya dan Syumanjaya, walaupun
tancap gas, paling cepat bisa mengerjakan satu film dalam 4
bulan. Jika dikumpul 10 sutradara, mungkin akan ada maximum 30
produksi yang baik tahun ini.
Nilai aktor maupun aktris, karena ada permintaan tinggi, pun
bisa mencapai sekitar Rp 3,5 juta. Bintang muda seperti Roy
Marten, menurut Wim Umboh, sekarang berani berkata pada
produser supaya menunggu giliran. "Kini produser
meminta-minta", katanya.
Investasi laboratorium oleh pengusaha dan tokoh perbankan
Nyoohansiang di Ragunan, Jakarta Selatan, sebanyak Rp 590 juta
kini tampaknya tak akan sia-sia. Ketika setahun lalu Lab itu
siap untuk memproses film berwarna, disangsikan apakah cukup
tersedia order pekerjaan.
Kalau harus pergi ke Tokyo seperti biasa, produser akhirnya
terkena ongkos sekitar Rp 11 juta. Ke Ragunan, biayanya per film
Rp 6 juta, dan bisa selesai lebih cepat. Sebentar lagi PFN akan
membuka Lab yang sama pula. Bersaing dengan bankir Nyoo?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini