Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemerintah Akan Melarang Total Transhipment

Alih muatan di tengah laut (transhipment) mengancam keselamatan ABK, rawan kriminalitas, membuat jumlah ikan tidak terdata, dan merugikan pemda setempat. Kementerian Kelautan akan melarang total transhipment.  

29 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan ikan lintas provinsi tanpa izin memunculkan banyak masalah. Karena jarak dari pelabuhan asal sangat jauh, kapal penangkap ikan cenderung mengalihkan muatannya di tengah laut kepada kapal pengangkut (transhipment). Dengan begitu, kapal penangkap bisa bertahan hingga tujuh pekan di laut. Praktik ini mengancam keselamatan para anak buah kapal (ABK). Selain itu, transhipment membuat jumlah ikan yang ditangkap tidak terawasi dan merugikan daerah sumber ikan karena tidak memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Kementerian Kelautan dan Perikanan mengizinkan kegiatan transhipment dengan syarat surat izin penangkapan ikan (SIPI) kapal pengangkut mencantumkan nama kapal penangkap tandemnya. Aturan itu bertujuan memudahkan pencatatan ikan. Tapi, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang melanggar aturan tersebut dengan dalih banyak kapal tangkap yang tidak mempunyai palka, sehingga ikan dipindahkan ke kapal pengangkut terdekat sekalipun tidak terdaftar.

Pada Februari 2022, kapal patroli Kementerian Kelautan menangkap 13 kapal ikan asal Bitung, Sulawesi Utara, yang beroperasi di perairan Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kapal-kapal itu dituduh melanggar zona wilayah izin penangkapan ikan dan melakukan transhipment secara tidak sah, serta tidak memiliki SIPI yang masih berlaku.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan, Muhammad Zaini, mengakui transhipment masih diizinkan asalkan memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Tapi saat ini, dia mengimbuhkan, Kementerian Kelautan sedang menyusun rancangan peraturan presiden yang melarang transhipment.

"Kami harus melengkapi fasilitas lebih dulu sebelum memberlakukan larangan," ujar Zaini kepada wartawan Tempo, Irsyan Hasyim dan Efri Ritonga, di kantornya, 26 Juli 2022. Begitu infrastruktur pelabuhan rampung, pelaku industri perikanan harus menjalankan larangan tersebut. Zaini juga bercerita mengenai upaya pemerintah melindungi ABK dari pelanggaran ketenagakerjaan. Berikut ini petikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muhammad Zaini di Jakarta, 26 Juli 2022. Tempo/Irsyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan ikan lintas provinsi terbukti masih marak. Bagaimana pembagian kewenangan perizinan kapal antara pemerintah pusat dan daerah?

Izin yang dikeluarkan oleh gubernur hanya terbatas pada wilayahnya. Jadi, gubernur Sulawesi Utara tidak bisa mengeluarkan izin penangkapan ikan untuk Maluku Utara. Jaraknya di bawah 12 mil, ini aturan dasar (izin gubernur). Kemudian bagaimana kalau kapal di bawah 30 GT (gross tonnage) akan beroperasi di atas 12 mil? Nah, ini yang menjadi masalah, karena sering dikriminalisasi. Sebenarnya, kapal-kapal kecil (di bawah 30 GT) kami beri kebebasan untuk naik ke wilayah-wilayah penangkapan di atas 12 mil.

Izin kapal-kapal kecil itu dari pemerintah pusat?

PP No. 85/2021 tentang PBNP Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan izin bagi kapal-kapal penangkap tuna untuk beroperasi di atas 12 mil diberikan oleh pemerintah pusat. Sehingga, kapal-kapal penangkap tuna (meski berukuran di bawah 30 GT) mengurus izinnya ke pemerintah pusat.

Tapi PP tersebut dianggap kontroversial....

Lampiran PP No. 85/2021 mencantumkan penarikan PNBP untuk kapal 5-60 GT sebesar 5 persen, tapi diributkan karena orang hanya baca di situ. Seakan-akan PP No. 85/2021 membebani nelayan-nelayan kecil karena kapal di bawah 30 GT mengurus izinnya harus ke pusat. Padahal itu karena ada permintaan dari nelayan-nelayan tuna yang akan berlayar ke atas 12 mil. Daripada dianggap melanggar aturan, makanya mereka mengurus izin ke pemerintah pusat.

Pemprov Maluku Utara dan Sulawesi Utara meneken kerja sama izin kapal andon supaya kapal-kapal bisa menangkap ikan lintas provinsi. Bagaimana tanggapan Kementerian Kelautan?

Ke depannya, kami akan menerapkan penangkapan berbasis kuota. Jadi, tidak bisa lagi kapal Sulawesi Utara yang menangkap ikan di Maluku Utara langsung membawa muatannya ke Sulawesi Utara. Ikannya harus didaratkan dulu di Maluku Utara. Nah, dari situ silakan diangkut dengan kapal angkut. Itu yang kami kembangkan, sehingga nanti aturan andon itu tidak diperlukan lagi.

Perlindungan jalur ini dilakukan untuk melindungi kapal yang kecil, jadi kapal besar tidak boleh menangkap di bawah 12 mil. Kapal ini, kalau mau pindah dari Sulawesi Utara ke Maluku Utara, harus mengurus izin dulu supaya mendapat semacam SIPI pengganti.

Maluku Utara juga mengusulkan check point tuna supaya bisa mendapat manfaat dari kapal wilayah lain....

Aturannya nanti (kapal ikan dari daerah lain) harus bongkar di sana (di Maluku Utara), bukan lagi check point. Dalam Agustus ini, kami akan uji coba aturan bongkar di WPP (wilayah pengelolaan perikanan) tempat ikan ditangkap. Jadi, kami berharap kapal-kapal yang menangkap ikan di wilayah tersebut bermanfaat pula untuk meningkatkan nilai ekonomi warga lokal.

Ketika ikan didaratkan di situ, pasti ada penyerapan tenaga kerja, peningkatan perekonomian karena perbekalan harus diambil di situ. Ikan dibawa ke seluruh Indonesia boleh, asalkan tidak menggunakan kapal tangkap lagi, tapi kapal pengangkut. Selama ini kapal penangkap dari Arafura pulang ke Jawa itu minimal tiga minggu, pulang-pergi sudah satu bulan setengah. Selain itu, dia harus tinggal di Jawa dua minggu. Jadi, dua bulan habis tidak bisa menangkap. Karena itu, sekarang banyak menggunakan transhipment.

Kapal pengawas perikanan di Dermaga milim PSDKP Bitung, 19 April 2022. Dok EJF

Bagaimana regulasi transhipment saat ini?

Melalui PP No. 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, kami memberikan izin transhipment. Selanjutnya, dalam Permen No. 10/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan, kami berikan izin kepada kapal-kapal yang akan melakukan transfer khusus, kepada kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap pancing.

Apa alasan pemberian izin khusus tersebut?

Kami memberikan apresiasi karena pancing adalah alat yang paling ramah lingkungan, karena kapal itu menangkap satu-dua ikan saja (selektif). Kami akan memberikan apresiasi di mana kapal dengan alat tangkap pancing diberi kemudahan dalam bentuk transhipment. Tapi ada syaratnya: kapal yang akan membawa hasil tangkapan dengan pancing itu harus tercantum dalam izin kapal pengangkut.

Praktik transhipment rawan penyelundupan, masalah ketenagakerjaan, dan tindak kriminal lainnya. Bagaimana pengawasannya?

Makanya nanti tidak boleh lagi ada transhipment. Semua kapal harus pulang, kecuali yang longline itu biasa lama di laut. Ini akan kami atur. Kalau ada pergantian kru, akan diatur tersendiri dan tidak bisa menggunakan aturan umum. Tapi kalau kapal-kapal yang normal, mereka harus pulang ke pelabuhan, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap ABK. Yang menjadi masalah, ini terkait hak-hak ABK ini karena banyak dilanggar, sedang saya benahi.

Apa jaminannya pelaku usaha akan mematuhi larangan transhipment?

Tentu, sebelum memberlakukan larangan itu, kami harus melengkapi fasilitas yang ada lebih dulu. Kalau belum siap, akan diberikan relaksasi, tidak mungkin dibebankan ke pelaku usaha. Begitu fasilitas sudah siap, tidak ada tawar-menawar lagi, harus dibongkar di situ. Karena nanti semua kapal yang beroperasi di wilayah tertentu akan disorot oleh satelit.

Jadi, kalau ada kapal angkut masuk ke sana, akan terdeteksi. Kapal yang transhipment juga akan terdeteksi.

Tapi sanksi kepada kapal-kapal transhipment ilegal hanya denda. Apakah efektif memberikan efek jera?

Sanksi administratif ini untuk mengurangi sanksi pidana, jadi sekarang ada alternatifnya. Sanksinya ada denda sampai pencabutan izin. Kalau pencabutan izin, ada rekomendasi dari PSDKP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) ke Ditjen Perikanan Tangkap, supaya kami bisa membekukan izinnya. Kalau perusahaan pemilik kapal mengurus izin baru, kami bakal berikan izin kembali.

Pencabutan izin merupakan sanksi terberat?

Sanksi administrasi itu yang paling tinggi, yakni dicabut izinnya. Tapi kalau dia kooperatif, kami berikan kembali. Sanksi administratif ini tetap berat karena harus membayar denda. Malah ini tetap dikeluhkan pelaku usaha juga karena nominal denda yang dibayarkan (besar). Saya bilang ini jadi berat kalau mereka melanggar.

Apa alasannya sanksi pidana dihilangkan?

Kami ingin mengurangi, jangan sedikit-sedikit pidana. Ini yang mau kami kurangi. Karena kalau pidana, itu bakal dipenjara. Pelaku yang masuk penjara enggak bisa kerja. Mereka akan kehabisan waktu dan peluang untuk mendapatkan uang.

Bagaimana Kementerian Kelautan melindungi ABK?

Saya sedang membikin kajian, sebenarnya siapa sih yang diuntungkan dengan sistem bagi hasil (antara pemilik kapal dan ABK)? Sistem ini tidak manusiawi, bayangkan sekarang yang menanggung biaya operasional bukanlah pemilik kapal karena dia hanya meminjamkan (kapal ke nakhoda dan ABK). Jadi, biaya operasional ditanggung oleh ABK.

Bentuknya undang-undang?

Iya diatur di undang-undang, harus melibatkan DPR supaya ABK tidak selalu dirugikan. ABK harus punya kekuatan yang sama. Di luar negeri, mereka pakai UMR, tidak lagi sistem bagi hasil. Di luar negeri, UMR sekitar Rp 7 juta per bulan, ditambah bonus, tergantung hasil tangkapan. Kalau di sini, (gaji ABK) Rp 3 juta per bulan.

Apakah ada bentuk perlindungan lainnya?

Dulu buku pelaut bukan kami penerbitnya, sekarang di kami. Saat ini kami sedang mempersiapkan mekanisme perlindungan pelaut. Kemudian pelatihan dan sertifikasi akan kami fasilitasi sehingga, jika mereka punya sertifikasi, ada posisi tawar.

Kami juga mewajibkan PKL (perjanjian kerja laut) kepada setiap perusahaan perikanan. Asuransi untuk nelayan kecil yang mau berangkat melaut juga akan difasilitasi oleh pemda dan pemerintah pusat. Kalau kapal besar, harus mandiri, karena kami sudah memberikan sosialisasi. Sebelum mereka melaut, kami akan tanyakan asuransinya juga. 

Cek terakhir untuk dokumen kelayakan kapal dan dokumen ABK adanya di syahbandar perikanan di pelabuhan. Saya juga ingin dokumen yang terdaftar tidak perlu banyak-banyak. Saya ingin sederhanakan menjadi tiga, yang lain biar selesaikan pada saat mengurus SPB (surat persetujuan berlayar). Tiga dokumen itu adalah SIPI, SPB, dan SLO (sertifikat laik operasi). 

Berapa banyak dokumen laut yang dibutuhkan saat ini?

Macam-macam. Di luar yang tiga tadi itu, ada daftar pengawasan, buku pelaut, kesehatan, kebersihan, macam-macam isinya. Maunya yang lain selesaikan di darat saja. Kalau kapal sudah berangkat, berarti sudah memenuhi persyaratan kecuali pengamanan dan keselamatan.

Kalau misalkan ada kapal yang tidak lengkap surat berangkatnya, yang salah itu adalah orang yang memberikan SPB. Syahbandar juga punya tanggung jawab, bukan sekadar punya kewenangan. Mereka sebagai garda terdepan keselamatan dan pengamanan. 

Bagaimana pembagian kewenangan pengawasan dokumen di laut antara KKP, TNI-AL, Bakamla, Kemenhub, dan Polairud?

Enggak ada, suka-suka mereka. Celakanya, selama ini dokumen yang dikeluarkan oleh instansi yang berbeda, matinya pun enggak sama, sehingga pelaku usaha harus mengurus setiap bulan. Nah, ke depan, nanti kalau sebagian besar sudah ada di kami, kami akan samakan masa berakhir semua dokumen.

 

***

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus