Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menjelaskan ihwal berbagai rute kereta cepat yang sudah dibangun di negara-negara lain. Dia membandingkannya dengan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Kereta Cepat Whoosh dari sisi panjang rute, lama perjalanan, hingga kecepatan beroperasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kereta ceopat di Cina dengan rute Beijing-Guangzhou yang jaraknya 2.298 kilometer, misalnya, kata Faisal, bisa ditempuh 8 jam dengan kecepatan 250 kilometer per jam. Lalu, ada rute Shanghai-Chengdu jarak 1.814 kilometer, bisa ditempuh 10 jam, dengan kecepatan 200-250 kilometer per jam. Ada juga rute Beijing-Shanghai dengan jarak 1.318 kilometer, waktu tempuh 4 jam 48 menit, dan laju kecepatan 300 kilometer per jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Madrid-Barcelona itu mahal sekali (tarifnya). Saya waktu di Spanyol jauh sekali, dan kami tidak jadi naik kereta cepat, karena jauh lebih mahal daripada pesawat, akhirnya kita naik pesawat,” ujar dia dalam diskusi bertajuk ‘Beban Utang Kereta Cepat di APBN’ di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan pada Selasa, 17 Oktober 2023.
Rute Madrid-Barcelona itu berjarak 804 kilometer dengan waktu tempuh 2 jam 38 menit, dan kecepatan 350 kilometer per jam. Sementara di Jepang ada rute Tokyo-Aomori yang bisa ditempuh 2 jam 30 menit dengan jarak 675,9 kilometer, dan laju kecepatan 320 kilometer per jam.
Kemudian, proyek Kereta Cepat Singapura-Kuala Lumpur itu berjarak 350 kilometer. Padahal menurut dia, rute Singapura-Kuala Lumpur sangat ideal sekali untuk kereta cepat. “Penerbangan antar dua kota beda negara itu salah satu yang terbanyak di seluruh dunia. Jadi pantes naik kereta cepat, itu pun dibatalkan,” tutur Faisal Basri.
Sementara, kata Faisal Basri, Jakarta-Bandung jaraknya hanya sekitar 142,3 kilometer di mana terdiri dari 80 kilometer atau 58 persen berupa struktur elevated. Selebihnya 13 tunnel dan subgrade. Kecepatan maksimum 350 kilometer per jam, namun banyak pemberhentian, sehingga kecepatan kereta tidak optimal.
Selanjutnya: “Stasiun Halim dan Tegalluar tidak di..."
“Stasiun Halim dan Tegalluar tidak di tengah kota, Padalarang juga tidak di tengah kota. Jadi dari titik ke titik itu kita harus naik Transjakarta dulu atau LRT ke Halim. Padahal stasiun kereta cepat idealnya di pusat kota,” kata dia.
Selain itu, Faisal Basri berujar, dari Stasiun Padalarang ke pusat Kota Bandung juga harus menggunakan Kereta Api Feeder, di mana penumpang harus keluar terlebih dahulu dari stasiun kereta cepat untuk menaikinya. Karena stasiunnya tidak benar-benar terintegrasi. “Jadi kita keluar stasiun kereta cepat masuk lagi Stasiun Padalarang,” ucap dia.
Menurut Faisal Basri, kereta cepat itu merupakan subtitusi dari angkutan udara, pesawat bukan angkutan umum berbasis jalan tol atau angkutan pribadi. Sementara, Jakarta-Bandung sudah memiliki banyak moda transportasi seperti travel atau bus yang lebih fleksibel.
“Mau di mana? Di Dukuh Atas? Mau di Pasar Festival, mau di mana saja ada. Point to point,” ujar dia.
Kemudian, Bandung sudah bisa dikatakan bukan pusat bisnis, tapi pusat kuliner. Sementara kereta cepat itu biasanya terhubung untuk tujuan bianis. “Kita ke Bandung kan bukan untuk bisnis tapi kuliner, ke Mak Eha (tempat makan legendaris) di Cihapit. Lha kalau ke Mak Eha susah naik kereta cepat. Kalau naik kendaraan pribadi gampang,” tutur Faisal Basri.