Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang terhadap PDB hingga 50%, asalkan pemerintahannya dapat meningkatkan pendapatan pajak, demikian dilaporkan Financial Times mengutip adik sekaligus salah satu penasihat terdekatnya, Hashim Djojohadikusumo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hashim mengatakan kepada Financial Times dalam sebuah wawancara di London bahwa Indonesia dapat mempertahankan peringkat kredit layak investasi meskipun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik hingga 50%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang,” kata Hashim seperti dikutip Reuters dari artikel tersebut, Kamis, 11 Juli 2024.
“Kami tidak ingin menaikkan tingkat utang tanpa meningkatkan pendapatan,” kata Hashim, sambil menunjuk pada “pajak, cukai, royalti dari pertambangan dan bea masuk”.
Namun pernyataan itu dibantah Sufmi Dasco Ahmad. Ketua tim transisi Prabowo itu mengatakan, pemerintahan mendatang akan mempertahankan status quo pada rasio utang terhadap PDB.
Dasco juga mengatakan pemerintahan baru akan menjaga defisit fiskal di bawah batas 3% PDB. “Kebijakan fiskal akan digunakan sebagai alat untuk mendongkrak investasi swasta,” kata Dasco kepada Reuters.
Hal senada juga dikatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Defisit fiskal di bawah pemerintahan Prabowo akan berada di bawah 3% sementara rasio utang terhadap PDB akan dipertahankan pada sekitar 40%, kata Airlangga Hartarto.
Ia menegaskan bahwa rasio utang pemerintahan Prabowo-Gibran tetap di bawah 40 persen terhadap PDB dengan batas defisit APBN 2025 yang juga tetap di bawah 3 persen.
“Sekarang kita tidak bicarakan itu. Jadi kita tetap konsentrasi di bawah 40 persen (rasio utang) dan current account defisitnya 3 persen," kata Airlangga usai konferensi pers Rakernas One Map Policy di Jakarta, Kamis.
Hal itu sebagai tanggapannya atas pernyataan Anggota Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo. Ia menyebut adanya rencana untuk meningkatkan rasio utang Indonesia hingga 50 persen dari PDB.
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan pernyataan tersebut hanya sebatas wacana. Menurutnya, belum ada penyesuaian rasio utang dan defisit APBN oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Ya itu kan wacana saja yang dibahas," katanya.
Adapun pada kesempatan lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyarankan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 diatur dalam level moderat.
“Atur defisit di level moderat saja. Kalau mau diubah, nanti di pemerintahan selanjutnya, jangan dikunci hari ini,” kata Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto.
Eko mengatakan perlu adanya politik anggaran yang berkelanjutan untuk meredam risiko utang. Dia sepakat dengan strategi Rancangan APBN 2025 hingga sejauh ini yang lebih mengedepankan disiplin fiskal alih-alih melebarkan defisit ke atas 3 persen.
“Kalau sisi politiknya memperlebar, itu bisa membuat masalah baru dan warisan utang dari Presiden Joko Widodo justru akan memburuk kalau tidak kita atasi dengan baik saat ini,” ujar Eko.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyebutkan, Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran komitmen mempertahankan batas defisit dalam APBN sebesar 3 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Said menyampaikan hal itu menanggapi isu rencana Pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan merevisi UU Keuangan Negara.
“Setahu saya dari tim Pak Prabowo, sebagai presiden terpilih, khusus untuk UU Keuangan Negara, defisit komit tetap (batas) 3 persen, belum ada perubahan apapun, dan itu interaksi saya dengan Pak Prabowo. Dan itu saya hormati, karena apa? Karena 3 persen adalah sesuatu yang memang ke depan untuk menjaga kesehatan dan keberlanjutan fiskal kita,” kata Said usai Rapat Kerja Banggar dengan Menteri Keuangan di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, wacana revisi undang-undang tersebut kemungkinan terkait perubahan hal lain, contohnya pelebaran kementerian.
“Kalau (diskusi) dengan Pak Jimly Cs (Jimly Asshiddiqie), nampaknya bukan UU Keuangan Negara, mungkin bab lain seperti persiapan kementerian, pelebaran kementerian atau badan. Itu kalau tidak dikerjakan dari sekarang kan perlu waktu untuk Pak Presiden menjabat,” ujarnya.
Adapun dalam Rancangan APBN Tahun Anggaran 2025 yang dibahas, kebijakan fiskal tahun depan ditempuh tetap ekspansif, terarah, dan terukur guna mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah dan panjang.
Untuk itu, defisit tahun 2025 dikendalikan di kisaran 2,82-2,29 persen PDB yang diarahkan untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
“InsyaAllah, kalau melihat tantangan ke depan, fiskal kita akan semakin berat, space semakin menyempit, maka Bapak Presiden Prabowo saya pikir tidak akan mengutak-atik Undang-Undang Keuangan Negara,” tuturnya.
REUTERS | ANTARA