Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAKET kebijaksanaan penurunan pajak perseroan yang diumumkan
Menteri Keuangan Ali Wardhana minggu lalu merupakan
kebijaksanaan penting pertama yang dikeluarkan pemerintah sejak
devaluasi rupiah 15 Nopember 1978. Kebijaksanaan ini, menurut
Ali Wardhana, dimaksudkan untuk merangsang investasi. Sekalipun
diakuinya kebijaksanaan baru ini akan mengurangi penerimaan
pemerintah dari pos pajak perseroan.
Pemerintah nampaknya mampu mengorbankan pos penerimaan ini
karena memang penerimaan ini relatif kecil dilihat dari seluruh
jumlah penerimaan dalam negeri. Dalam APBN yang berlaku mulai 1
April 1979 ini, penerimaan pa)ak perseroan hanya merupakan 4%
dari seluruh penerimaan dalam negeri. Dari jumlah itu pun 50%
berasal dari sektor swasta.
Pertimbangan yang lebih penting dari keputusan tersebut adalah
pertambahan investasi dalam negeri yang diperlukan selama Pelita
III. Tapi melihat catatan BKPM dua tahun terakhir ini nampaknya
pemerintah belum perlu khawatir tentang menurunnya minat
investasi di negeri ini. Aplikasi penanaman modal dalam negeri
pada 1978 melonjak menjadi 422 buah dari 236 pada 1977.
Sedangkan nilai perluasan dan proyek baru yang disetujui
meningkat 46% dari 1977, menjadi US$ 667 juta.
Tapi pemerintah agaknya merasa perlu memberi lebih banyak
perangsang untuk mempertahankan momentum investasi, terutama
karena yang diharapkan selama Pelita III memang cukup besar.
Bagian investasi dari sektor di luar pemerintah selama Pelita
III diharapkan naik dari 44% menjadi 52%, Dari sektor swasta
dalam negeri diharapkan investasi sebesar Rp 3,2 triliun, atau
Rp 640 milyar setiap tahun.
Boleh Lifo
Kebijaksanaan yang baru ini mungkin tak akan banyak berpengaruh
terhadap perusahaan besar yang labanya di atas Rp 100 juta. Tapi
jelas akan cukup memberkahi perusahaan kecil dan sedang, sektor
yang akan lebih menyita banyak perhatian pemerintah lima tahun
mendatang ini. Misalnya bagi perusahaan yang labanya antara Rp
10 juta dan Rp 25 juta, menurut peraturan baru kini cukup
membayar pajaknya 20%, tidak lagi 45% seperti sebelumnya. Bahkan
kalau laporan keuangannya disahkan oleh akuntan publik, pajak
yang dibayarkannya bisa tetap 20%, sekalipun labanya mencapai Rp
100 juta.
Dan sekali perusahaan menggunakan akuntan publik dalam laporan
keuangannya, pemerintah tidak akan mengutikngutik laba yang
disembunyikannya di masa lalu. Ini satu kemajuan yang cukup
berarti. Pengusaha dididik untuk bersikap terbuka, inspeksi
pajak akan mengakui dan menerima angka yang diajukan akuntan
publik, ruang gerak tawar menawar antara wajib pajak dan kantor
pajak dibatasi, dan waktu dan tenaga kantor pajak bisa dihemat
karena mereka tak perlu lagi membongkar-bongkar sendiri
pembukuan begitu hanyak perusahaan. Dan perusahaan besar yang
selamaini sudah menggunakan akuntan publik bisa merasa lega
karena mereka tak perlu lagi membuang waktu untuk meladeni tamu
tak diundang dari kantor pajak. Bisa dimengerti kalau di samping
para pengusaha, adalah akuntan publik yang merasa paling senang
dengan paket kebijaksanaan baru ini.
Dari segi ini, perusahaan besar yang labanya di atas Rp 500
juta, bebannya tak banyak berobah karena tarip pajaknya
prinsipnya tetap 45%. Tapi dari segi lain mereka tetap akan
menerima keuntungan. Mereka bisa memanfaatkan kesempata untuk
melakukan revaluasi aktiva tetapnya. Karena nilai aktiva mereka
besar, maka laba kena pajaknya akan turun cukup banyak dari
meningkatnya penyusutan aktiva tetapnya, hingga pajaknya pun
akan berkurang.
Kesempatan revaluasi aktiva tetap bagi perusahaan pernah
diberikan pada 1971. Dan seperti pada 1971, maka pertambahan
nilai saham yang berasal dari kapitalisasi selisih revaluasi ini
tak dikenakan pajak. Kapitalisasi laba yang belum dibagikan juga
tak dikenakan pajak. Dan kalau mereka jadi menjual 30%
saharnnya di bursa, tarip pajaknya hanya 20% untuk laba sampai
Rp 300 juta Sebelumnya tarip pajaknya adalah 35%.
Positif
Yang agak baru bagi dunia usaha di sini adalah diperkenankannya
cara perhitungan LIFO (last in first out) untuk perhitungan laba
kena pajaknya. Pada iflasi yang cukup tinggi seperti sekarang
ini, barang terakhir yang keluar dari bagian produksi ongkosnya
bisa jauh lebih tinggi dari barang yang keluar sebulan lalu.
Kini perusahaan boleh melaporkan biaya barang yang terjual
sebulan lalu sama dengan biaya barang yang keluar dari produksi
hari ini. Artinya, memperkenankan perusahaan untuk melaporkan
harga pokok lebih tinggi, atau memperkenankan mereka untuk
melaporkan laba lebih rendah dari yang sebenarnya, dus membayar
pajak lebih rendah.
Bagi dunia usaha yang baru terpukul oleh devaluasi rupiah,
keringanan pajak seperti ini sungguh menhibur. "Bagi perusahaan
yang likwiditasnya turun akibat Kenop-15, kini dapa
ditingkatkan dengan adanya penilaian kembali asset (kekayaan),"
kata Harry Tanugraha, Sekretaris Gapkindo (asosiasi produsen
karet). Dengan beberapa catatan, Sjamsir Rachman, Dir-Ut PT
Nasira yang berdagang karet, juga menyambut. Sedang Nahar
Zahiruddin Tanjung, Direktur Indomilk dan Wakil Ketua I bidang
perdagangan Kadin menyebutnya sebagai "suatu kebijaksanaan yang
betul-betul positif."
Kalau semuanya berjalan lancar, tak mengejutkan bila di akhir
1979 nanti banyak perusahaan yang akan bisa melaporkan laba
bersih yang lebih besar. Tapi apakah akhirnya mereka akan
menanamkan kembali labanya, banyak faktor yang akan
mempengaruhinya daripada sekedar keputusan seorang Ali Wardhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo