Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahari Indonesia kaya akan aneka ikan dan hasil laut lainnya. Salah satu jenis ikan yang sangat populer adalah tuna, yang tersebar di banyak wilayah laut Nusantara. Pada 2020, kontribusi ekspor tuna terhadap total volume ekspor perikanan Indonesia mencapai 15,5 persen. Sayangnya, dalam penangkapan tuna terdapat banyak masalah akibat praktik alih muatan kapal di tengah laut (transhipment) yang dilakukan kapal-kapal penangkap tuna.
Destructive Fishing Watch Indonesia menyebut transhipment ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dapat memangkas biaya operasional kapal dan menjaga kualitas ikan, di sisi lain menjadi pintu masuk bagi penyelundupan satwa liar, narkoba, BBM, hingga perdagangan manusia. Selain itu, pemalsuan jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan (underreported) serta hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported) berpotensi besar terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyadari problem tersebut. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini, pemerintah sedang mematangkan rancangan kebijakan penangkapan ikan berbasis kuota. Melalui kebijakan tersebut, kapal-kapal ikan tidak lagi diizinkan melakukan transhipment.
“Ikan hasil tangkapan harus didaratkan dulu di pelabuhan (sekitar tempat penangkapan). Nah, dari situ silakan diangkut dengan kapal angkut (ke wilayah lain),” kata Zaini. Dengan begitu, pemerintah daerah setempat bisa memperoleh pendapatan dari hasil laut di wilayahnya, anak buah kapal terlindungi, dan tindak kriminalitas bisa dikurangi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo