Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Transportasi Perkotaan dari Universitas Lampung Aleksander Purba menjelaskan keuntungan dan kerugian dari melanjutkan Kereta Cepat Whoosh menuju ke Surabaya. Proyek tersebut akan kembali menggandeng Cina dan saat ini sudah mulai dilakukan studi bersama dengan pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Aleksander menjelaskan keuntungan dari melanjutkan kereta cepat ke Surabaya adalah alih teknologi kereta cepat yang akan lebih cepat. Sehingga pada proyek selanjutnya, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan teknologi atau sistem kereta cepat dari negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Semakin cepat terealisasi, maka mode share rail akan perlahan berubah terhadap pesaing utamanya (mobil dan pesawat) sepanjang koridor Jakarta-Bandung-Surabaya,” ujar Aleksander saat dihubungi pada Rabu, 1 November 2023.
Adapun kerugiannya, menurut Aleksander, Indonesia hanya mengenal teknologi atau sistem kereta cepat dari Cina. Padahal, dia berujar, ada model dari beberapa negara seperti Jepang, Prancis, Jerman, Spanyol, dan Italia. “Yang relatif sudah lebih lama mengembangkan kereta cepat."
Sebelumnya, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo alias Tiko memastikan untuk kelanjutan proyek itu sudah mulai melakukan kesepatan dengan pihak Cina untuk memulai kajian bersama terlebih dahulu. “Tapi butuh waktu,lah. Kita sedang melakukan joint study dengan pihak Cina, untuk kita lihat feasibility maupun cost project secara keseluruhan,” ujarnya Kantor InJourney, Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, Rabu, 1 November 2023.
Dia juga menjelaskan dipilihnya kembali Cina sebagai mitra untuk kelanjutan proyek tersebut. Menurut Tiko, karena Negeri Tirai Bambu itu sudah membangun memiliki pengalaman dalam mebangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung. “Tentunya secara komersial pihak Cina juga harus melihat apakah feasible atau tidak. Dan berapa project cost-nya, kan,” tutur dia.
Tiko menyebutkan bahwa kerja sama tersebut belum membicarakan mengenai perusahaan apa saja yang bakal terlibat. “Kita (baru) bicara dengan NDRC (National Defense Research Committee dari Cina). Dengan pemerintah Cina-nya,” kata dia. NDRC merupakan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional asal Cina.
Soal skema pembiayaannya, Tiko menjelaskan, masih belum mengetahuinya dan baru akan dibahas. “Lagi proses, kan nanti setelah studinya keluar,” ucap Tiko. Mengenai kapan proyek akan dieksekusi juga Tiko belum bisa menjelaskan detail. “Saya belum bisa jawab, karena baru mulai studinya.”