Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Founder PT. Pandawa Agroniaga Lestari, Muhammad Nafis Rahman menceritakan perjalanan merintis usahanya hingga mengekspor produk ke luar negeri. Kisah pengusaha yang membuat olahan dari lemon ini bermula dari melihat permasalahan di desa-desa terpencil di Lampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu, ia dan kedua rekannya melihat banyaknya lemon tidak terolah dengan baik. Menurut pria yang berusia 31 tahun itu, saat memulai bisnis sekitar tahun 2014-2015, lemon tidak laku sama sekali di desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan Nafis rela berkorban di awal merintis usaha dengan membeli lemon tersebut dari petani, tapi saat dijual kembali tidak laku, dan dia bagikan lemon itu secara gratis.
“Dengan menggratiskannya, tujuannya agar lemon tersebut bisa dikenal oleh warga daerah Lampung, di Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, sampai ke wilayah Palembang dan Baturaja, Sumatera Selatan,” ujar dia kepada Tempo pada Rabu, 10 Agustus 2022.
Selama proses tersebut Nafis memakai tabungan hingga aset lain miliknya sebagai modal yang dikeluarkan kurang lebih senilai Rp 500 juta sampai Rp 700 juta. “Kita memang niat awalnya membantu petani yang kesulitan menjual, pakai modal pribadi. Agar bagaimana waktu itu lemon benar-benar bisa dipasarkan,” kata dia.
Pada tahun 2017, lulusan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB ini mulai melakukan riset produk olahan lemon. Karena, jika dipasarkan dalam bentuk fresh banyak risiko kerusakannya.
Salah satu hasil risetnya adalah sari lemon, tapi Nafis juga mengalami kendala, karena dia harus juga mengenalkan olahan tersebut, termasuk manfaatnya.
Sejak itu masyarakat sudah mulai mengenal sari lemon, dan kegiatan industri Nafis terus berkembang dibantu temannya dari IPB, himpunan alumni IPB, dan beberapa organisasi besar kemahasiswaan. “Dan petani produknya sudah mulai lakulah. Itu prosesnya panjang,” tutur Nafis.
Selanjutnya baca Inovasi Produk Olahan Lemon
Kemudian pada tahun 2019-2020, hanya dengan lemon, ia bisa melakukan inovasi produk, diawali dengan sari lemon, memunculkan olahan lain seperti sirup, lemon dehydrate atau lemon celup, selai, sampai ada krispi lemon dari kulitnya. Nafis memasarkan produknya melalui situs jual beli nasional dan ekspor yang dilirik oleh salah satu perusahaan asal Jepang.
“Alhamdulillah setelah itu ada kunjungan dari Jepang dari salah satu perwakilan perusahaan untuk penjajakan, dan ada permintaan walaupun tidak banyak tapi rutin,” tutur pengusaha lemon asal Lampung itu.
Selain Jepang, sari lemonnya juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Mesir dan Mesir. Sementara produk lemon dehydrate sudah masuk ke pasar Singapura. “Ternyata permintaan pasarnya luar biasa, ada dari cafe-cafe terus beberapa pengguna lemon itu banyak yang berminat.”
Hingga saat ini, Nafis bermitra dengan beberapa petani dan pemilik lahan seluas antara 1.000-1.500 hektare yang tersebar di beberapa wilayah di bawah pendampingannya. Mulai dari wilayah Lampung, ada di Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, dan Pringsewu. Selain untuk budidaya lemon, di lahan itu juga Nafis mengembangkan produk pertanian lainnya.
Menurut dia prospek dari kegiatan usahanya cukup baik, karena dari produk pertanian yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi, bisa diolah di desa itu sendiri. “Kita olah tidak jauh dari tempat produksinya dan pakai tenaga kerja lokal, itu mengurangi laju urbanisasi dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat di desa,” ucap dia.
Harga beli lemon tadinya hanya Rp1.000, lalu meningkat menjadi Rp1.500 sampai Rp2.000, tapi kata Nafis, dia bisa membeli lebih dari harga itu. Ada kenaikan 30-50 persen dari yang sebelumnya dipasarkan secara fresh, kecuali hasil sortir yang kualitasnya bagus, sementara yang kualitasnya sedang itu diolah.
Selanjutnya baca membuat Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan
Dan untuk membekali para petaninya, dia membuat Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) yang dinamani Agro Persada Nusantara. Lokasi itu menjadi tempat anak-anak muda desa untuk berlatih, termasuk magang, perekrutan kerja, pendampingan, salah satu yang berjalan adalah untuk agen digital marketing.
Bahkan, pada 28 Juli-8 Agustus 2022 lalu juga tempat pelatihan itu digunakan sebagai program magang dari pemerintahj bernama Integrated Participatory Development and Management of Irrigation Program (IPDMIP), yang difasilitasi oleh Kementerian Pertanian melalui Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Lampung.
“Jadi kami sekarang sudah mulai menjalin kerja sama khususnya di bidang agro industri tingkat desa, itu dari Aceh sampai Lampung, dan kita membentuk jaringan pertanian Sumatera,” ujar Nafis.
Saat ini omset dari usaha yang dijalanininya bisa mencapai Rp200 juta sampai Rp300 juta per bulannya dengan puluhan karyawan dan ratusan mitra petani. Sementara untuk keuntungan bersihnya, kata Nafis, tidak banyak hanya sekitar 10 persennya. Dia juga enggan disebut usahanya sudah sukses, karena menurutnya apa yang dilakukannya masih belajar dan tahap merintis.
“Karena konsep kita sosial preneur jadi saat kita ada keuntungan yang lebih dan besar kita mengembangkan desa lain untuk kita dampingi,” kata Nafis.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.