Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kompetisi Menjerat Pembeli

Pasaran mobil menurun. sejumlah hadiah dan kemudahan mendapatkan kredit pemilikan ditawarkan melalui iklan, untuk menarik pembeli dan meningkatkan omzet penjualan. model pun terus diperbarui.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"BELI satu dapat dua," kata sebuah iklan mobil. "Beli Suzuki Carry dapat Mazda Capella," tulis iklan lain, yang dipasang Suzuki Group, perusahaan perakitan mobil yang mengageni lima merk (Suzuki, Mazda, Hino, Nissan, dan Volvo). Dan masih ada lagi segudang iklan lainnya, yang menawarkan hadiah berikut kemudahan-kemudahan pemilikan mobil. Contohnya, kredit tanpa bunga dengan jangka tiga tahun, hadiah AC dan tape recorder bagi pembeli sebuah minibus. Belum lagi hadiah-hadiah kecil seperti payung, jaket, dan T-shirt, yang tak terhitung jumlahnya. Tak pelak lagi, itulah kondisi pasar mobil yang menukik tahun lalu. Tentang ini, Soebronto Laras, Direktur Utama Suzuki Group, yang juga Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) berucap, "1988 merupakan tahun yang berat bagi pasar mobil." Agak payah, memang. Suzuki Carry dan Daihatsu Zebra, yang primadona 1987, tahun 1988 penjualannya menurun 10%. Kedudukan Suzuki digeser oleh Kijang, yang berhasil memasarkan tak kurang dari 32.566 unit. Kijang pun muncul sebagai superstar, dengan kenaikan 30 ribu unit. Suzuki Carry berada di peringkat kedua terjual 25.560 unit. Disusul oleh Daihatsu Mitsubishi, dan Chevrolet. "Tahun ini memang tahun Kijang," kata Alam Wiyono, Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM), yang mengageni Kijang. Lantas, bagaimana merk lain bisa terpukul? Ada beberapa faktor, hanya saja, menurut Soebronto, penyebab utamanya adalah pangsa pasar yang tak berubah, sementara harga jual naik, akibat kendaraan niaga dikenai Pajak Barang Mewah 10%, terhitung April 1988. Kendati penjualan secara total menurun -- karena menciutnya pangsa kendaraan niaga -- di kategori lain justru sebaliknya. Kategori II, yang terdiri dari truk dan bis tanggung berkapasitas 2,5 sampai 10 ton, misalnya, naik sekitar 33 persen. Pada 1987, kategori ini hanya terjual 11.810 unit -- rata-rata 984 unit per bulan sedangkan tahun 1988, melonjak jadi rata-rata 1.311 unit sebulan. Kategori III -- ke dalamnya termasuk DIS dan truk besar -- malah mengejutkan. Angkanya naik 40% dari rata-rata 401 unit per bulan menjadi rata-rata 560 unit sebulan. "Kenaikan yang terjadi pada penjualan kendaraan kategori II dah III merupakan petunjuk kuat bahwa kegiatan ekonomi meningkat," kata Soebronto. Lebih mengejutkan adalah angka penjualan sedan, yang mengalami kenaikan sampai 9,5%. Bandingkan, tahun 1987 terjual 28.893 unit (rata-rata 2.408 unit per bulan), tahun 1988 menjadi 2.630 unit per bulan. Soebronto sendiri bingung, bagaimana kelas sedan bisa ikut naik. "Tahun lalu, bagi sedan, merupakan pasar yang abnormal," tutur Soebronto. Dia mensinyalir, model-model baru agaknya merupakan daya tarik utama. Memang, pasar sedan tampil semarak dengan munculnya Nissan Coupe, Mercedes Coupe, Mazda Capella, BMW 520 dan 318, Honda Grand Civic, serta dua model baru dari Toyota. Raja di kelas ini masih tetap Honda, yang diageni PT Imora Motor. Biarpun termasuk kelas mahal (Grand Civic Rp 44,5 juta dan Accord Prestige Rp 58,5 juta per unit), tahun lalu bisa terjual 9.600 unit. Atau naik sekitar 600 unit dibanding tahun sebelumnya. Padahal, kalau melihat terjadinya kenaikan harga (tahun lalu naik 10%), seharusnya omset sedan menurun. Soebronto menyimpulkan, pasaran sedan seperti dipaksakan -- terlihat dari meningkatnya penjualan secara kredit. Menurut Ketua Gaikindo ini, sekitar 50% sedan dijual dengan sistem cicilan (kebanyakan tanpa bunga), berjangka 12-48 bulan. Sedangkan untuk jenis niaga, yang penjualannya menurun itu, transaksi dengan sistem kredit malah mencapai 80%. "Jadi, penjualan tahun lalu itu tampak seperti asal pindah tangan saja," ujarnya. Tapi sedan Honda, misalnya, menurut pimpinan Imora Motor, Ang Kang Hoo, hanya 30% yang dijual dengan kredit. "Kalau pembeli mau bayar cash, masa saya suruh kredit," ujarnya bangga. Ang Kang Hoo berpendapat, bukan cuma model yang menentukan omset, tapi juga harga. Itulah sebabnya, Ang agak khawatir menghadapi tahun 1989. Soalnya, harga Accord akan dinaikkan -- antara lain karena yendaka sebesar 20%. Namun, ia mengharapkan, "Mudah-mudahan tahun ular lebih bagus ketimbang naga." Angin segar berkesiur juga di antara sedan-sedan Toyota, yang tahun 1988 terjual sekitar 7.500 unit. Sementara itu, Kijangnya ikut memperkuat ekspor nonmigas -- sejak Oktober 1987, misalnya, setiap bulan secara kontinu menjual 30 unit ke Brunei. Di samping itu, 15 unit per bulan dilempar ke Papua Nugini, terhitung Oktober 1988. Maka, Alam Wiyono bisa yakin, TAM bisa memenuhi program lokalisasi kendaraan niaga yang dijadwalkan pemerintah tahun 1991. "Pokoknya, kami optimistis dapat full manufacturing sesuai dengan yang telah diprogramkan," ujarnya. Lain halnya mereka yang sedang mati angin, hingga mengalami penciutan pasar. "Program lokalisasi perlu diteliti lagi," kata Soebronto. Sebab, full manufacturing baru bisa ekonomis kalau setiap merk beromset minimal 60 ribu unit setahun. Soalnya untuk membuat mesin dan transmisi sendiri, setiap pabrik minimal membutuhkan Rp 100 milyar. Sedangkan untuk menggenjot omset, bukan pula hal yang mudah. Lihat saja kondisi pasar dua bulan terakhir, yang terasa semakin berat. Untuk biaya promosi, tahun lalu setiap merk diperkirakan mengeluarkan sampai Rp 5 mllyar. Bayangkan, itu baru promosi. Tidak aneh kalau Soebronto memandang tahun ular dengan pesimistis. "Kalau pasarnya sama dengan tahun lalu, itu sudah bagus," katanya. Memang tahun ini ada kabut mengambang di pasar mobil. Apalagi setelah Jumat pekan lalu Pemerintah mengumumkan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang baru. Aturannya: kendaraan mobil jenis kombi dan minibus tetap kena 10%. Buat jenis jip yang tidak menggunakan dobel gardan, dikenakan 20%. Terakhir, PPnBM 30% untuk sedan, jip bergardan ganda, mobil balap, station wagon, dan van. Budi Kusumah, Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus