Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan nasional mengalami tren peningkatan dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, rasio kredit macet perbankan perlahan naik dari 2,50 persen pada Juni 2019 menjadi 2,60 persen pada Agustus 2019. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, menuturkan penyebab peningkatannya adalah kasus gagal bayar kredit sejumlah perusahaan besar yang melibatkan beberapa bank nasional.
“Penyebab naiknya NPL industri mungkin karena kasus gagal bayar, seperti Krakatau Steel dan Duniatex Group,” ujar Jahja kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2019. Seperti diketahui, kegagalan PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST), anggota Duniatex Group, membayar bunga dan pinjaman senilai US$ 11 juta dari pinjaman total sindikasi senilai US$ 260 juta pada Juli lalu menyeret sejumlah bank yang menjadi kreditornya.
Berikutnya adalah persoalan beban keuangan yang mendera perusahaan pelat merah PT Krakatau Steel Tbk akibat menumpuknya utang terhadap enam lembaga keuangan hingga memerlukan restrukturisasi. “Kami ke Duniatex memang tidak ada eksposure, tapi ke Krakatau Steel ada, walaupun kecil dibandingkan dengan bank-bank lain,” kata Jahja. Dia menambahkan, hingga Juni 2019, tingkat NPL korporasi BCA tercatat sebesar 1,39 persen.
Adapun Krakatau Steel akhir September lalu akhirnya meneken perjanjian kredit restrukturisasi dengan BCA, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank ICBC Indonesia, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menuturkan, dengan adanya perjanjian ini, pihaknya akan mendapatkan relaksasi pembayaran utang, termasuk di dalamnya tenor atau jangka waktu pelunasan pinjaman yang menjadi lebih panjang.
“Kami berharap setelah ditandatanganinya perjanjian kredit restrukturisasi ini dapat menyehatkan kinerja finansial secara berkelanjutan,” ujar Silmy.
Hingga Juni 2019, Krakatau Steel tercatat memiliki utang konsolidasi senilai US$ 2,07 miliar. Mayoritas utang jangka pendek itu merupakan pinjaman yang diperoleh dari pihak bank, yang di antaranya berbentuk letter of credit impor (LoC) dan kredit modal kerja.
Adapun untuk kasus gagal bayar Duniatex Group, lembaga keuangan yang terlibat di dalamnya di antaranya yang terbesar adalah LPEI dengan eksposure senilai Rp 3,04 triliun, Bank Mandiri Rp 2,7 triliun, BRI sebesar Rp 1 triliun, dan BNI senilai RP 459 miliar. Terakhir, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap enam entitas usaha Duniatex Group dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang.
Dengan putusan itu, Duniatex Group wajib merestrukturisasi seluruh utangnya kepada kreditor yang terdaftar di muka pengadilan. Merespons hal tersebut, Direktur Korporasi BNI Putrama Wahyu Setiawan menuturkan, hingga saat ini, pihaknya masih menunggu pendaftaran tagihan Duniatex Group untuk kemudian disiapkan opsi restrukturisasinya. “Pada prinsipnya tagihan harus didaftarkan, dan mengenai skemanya kami akan pelajari setelah mereka menyampaikannya dalam PKPU tersebut,” kata dia.
Selain adanya sejumlah kasus gagal bayar korporasi besar itu, situasi pelemahan ekonomi global yang kemudian berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri juga ditengarai menjadi penyebab melonjaknya tren NPL perbankan. Hal itu diungkapkan oleh Lembaga pemeringkat utang internasional, Moody’s Investor Service, dalam laporan berjudul “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen” (Koran Tempo edisi Kamis, 3 Oktober 2019: “Risiko Gagal Bayar Utang Swasta Meningkat”).
Presiden Direktur PT Mayapada International Tbk, Hariyono Tjahjarijadi, membenarkan adanya pelemahan kinerja korporasi dalam negeri yang sudah dirasakan oleh sektor perbankan. “Pelemahan itu bahkan terjadi praktis hampir di semua industri,” kata dia. Adapun Bank Mayapada hingga akhir tahun berkomitmen untuk menjaga tingkat NPL pada level 3 persen.
ALI NUR YASIN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini