Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Memilih kelompok 50

Direktorat jenderal pajak akan mengumumkan pembayar pajak besar di 6 kota, masing-masing 50 nama. untuk merangsang wajib pajak memenuhi kewajibannya secara tertib & teratur. (eb)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari ini pihak Direktorat Jenderal Pajak sibuk mengumpulkan puluhan nama pembayar pajak pendapatan (PPd) pajak kekayaan (PKk), dan pajah perseroan (PPs) dari Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Dari keenam kota itu akan dipiih pembayar terbesar PPd, PKk, dan PPs, masing-masing 50 nama, untuk dipublikasikan secara luas. Dengan cara itulah, menurut sebuah sumber, "wajib pajak dirangsang untuk memenuhi kewajibannya secara tertib dan teratur." Lewat publikasi itu pula, masyarakat awam bisa mengetahui siapa yang selama tiga tahun terakhir (1980-1982) tergolong pembayar pajak besar. "Tidak ada jeleknya cara seperti itu dilakukan untuk merangsang pengusaha," ujar Sudwikatmono, direktur kelompok Indocement. Sudwikatmono menyebut, Indocement yang punya kapasitas terpasan pabrik semen 1,7 juta ton setahun, belum tentu akan tampil sebagai pembayar PPs terbesar. Maklum, katanya, sebagian dari enam unit pabrik itu - yang masing-masing dikelola sebuah perseroan terbatas sendiri - masih menikmati masa bebas pajak. Keuntungan yang diperoleh dari ekspansi unit tanur I dan II, menurut dia, hampir seluruhnya diinvestasikan kembali untuk membangun tanur ketiga, keempat, kelima, dan keenam sebagai penyertaan modal (equity ). "Kami bukan mau menhindari pajak, tapi mau memanfaatkan semua peraturan yang ada," katanya. Kendati demikian, sebuah sumber berusaha meyakinkan, Indocement bersama kelompok Astra, Harapan, Gunung Sewu, Samudera Indonesia, Pardede, dan Berdikari hampir pasti bisa digolongkan sebagai pembayar PPs cukup besar. Pihak Departemen Keuangan sendiri hingga pekan ini belum menjelaskan apakah pembayar pajak terbesar itu kelak akan menerima kompensasi, misalnya berupa keringanan pajak. Kalau toh kompensasi semacam itu sulit diberikan, Fuady Mourad, direktur Panin Bank, mengharapkan agar pemerintah memberikan kemudahan dalam memeriksa laporan keuangan perusahaan. Jadi, jika suatu perusahaan sudah diaudit akuntan publik yang diakui "laporan keuangannya tentu tak perlu dikoreksi lagi," katanya. Sudah menjadi rahasia umum, memang, pihak Direktorat Jenderal Pajak belakangan ini sering mengadakan koreksi terhadap laporan perusahaan sekalipun sudah diperiksa oleh akuntan publik. Perbedaan pendapat biasanya terpusat pada soal pengeluaran dan cara menghitung penyusutan kekayaan perusahaan yang bisa mempengaruhi laba bersih akhir. Pengatur suhu ruangan (AC), misalnya, oleh pihak pajak sering dikategorikan sebagai barang mewah yang tidak wajib disusutkan. Sedang gedung, kata seorang akuntan publik, harus disusutkan selama 40 tahun. Padahal, hak guna bangunan sendiri masa berlakunya hanya 20 tahun. "Jadi, bagaimana kalau suatu gedung yang belum habis disusutkan sudah harus digusur karena HGB-nya sudah habis?" tanya akuntan publik itu. Perbedaan semacam itu toh masih juga muncul kendati pemerintah, 27 Maret 1979, telah memutuskan akan memberikan keringanan pajak jika wajib pajak menggunakan akuntan publik untuk memeriksa keuangan perusahaan. Sadar bahwa keputusan itu belum cukup, pemerintah kemudian membentuk Tim membina Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan 27 Maret 1979, yang bertugas mengatasi munculnya perbedaan pendapat antara akuntan publik dan petugas pajak. Syukur, sesudah itu jumlah badan usaha milik negara yang kemudian menggunakan jasa akuntan publik naik dari l.133 sebelum Maret 1979 menjadi 2.558 perusahaan pada awal 1982. Dalam kaitan itulah, Fuady Mourad mngusulkan pula agar pemerintah mau secara terbuka mengumumkan siapa saja akuntan publik yang dianggapnya sehat. Cara pemerintah menilai dan menyeleksi lembaga keuangan, katanya, perlu pula diterapkan disektor ini. Kantor akuntannya perlu pula diterapkan di sektor ini. Kantor akuntan SGV Utomo dan Budi Utomo, misalnya, sudah memeriksa laporan keuangan PT Kalimantan Steel Co., tapi pemerintah toh masih menganggap PMA Jepang itu melakukan manipulasi pajak. "Umumkan saja, siapa akuntan publik yang sehat, biar wajib pajak tahu dan tak salah pilih," katanya. Bukan itu saja yang dituntut wajib pajak. Bagi industri elektronik menurut Abdul Rahman, direktur PT Sanyo Industries Indonesia, pengenaan pajak berganda terasa memberatkan perakit di sini. Berdasarkan peraturan pemerintah, mereka mau tak mau harus membayar tiga kali PPn - saat mengimpor komponen, menyerahkan sebagian perakitan pada subkontraktor, dan terakhir ketika menjual barang jadi ke konsumen. Akibatnya, tentu harga barang elektronik itu menjadi mahal. Karena itu, "sulit bagi kami menjualnya murah," kata Abdul Rahman pada TEMPO . Sebagai PMA Jepang, Sanyo, yang membuka usaha diJakarta sejak 1972, menurut Abdul Rahman kini setiap bulan membayar pajak Rp 300-Rp 500 juta, bagian terbesar merupakan PPn. Seperti juga kebanyakan pengusaha, dia meminta agar penarikan MPO (menghitung pajak orang lain), yang merupakan bagian pembayaran PPs, tak dibayar di muka tapi dibayar sekaligus dalam bentuk setoran PPs. Maklum dalam keadaan dana serba mahal akibat masih tingginya suku bunga kredit, "kami banyak membutuhkan uang untuk modal kerja," kata Abdul. Tapi usul demikian dianggap sulit dilaksanakan karena mekanisme pembayaran MPO sudah diatur dalam suatu undang-undang. Yang juga sulit dilaksanakan, menurut sebuah sumber di Departemen Keuangan, adalah mengenai usul. Nyoman Moena. Ketua umum Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta itu mengusulkan agar penghitungan pajak bank didasarkan atas persentase ari jumlah kreit yang diberikan, bukan atas laba kotor. Usul Moena rupanya sulit diterima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus