Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYUSURI Brick Lane di jantung ekonomi London, menjelang petang Kamis pekan ketiga September, membawa kembali ingatan Andrew Erskine beberapa tahun ke belakang. ”Banyak orang Inggris akan terkejut kalau tahu ada tempat sekumuh lingkungan ini di tengah London,” kata konsultan senior di kantor Tom Fleming Creative Consultancy itu.
Lorong-lorong yang hanya berjarak 10 menit jalan kaki ke pusat komersial modern ini pernah terkenal sebagai ”sarang” imigran gelap asal India, Bangladesh, dan negara-negara Asia Selatan lainnya. Semrawut, dan jauh lebih jorok dibanding sudut-sudut kota yang lain.
Wajah ruwet itu makin lengkap dengan Spitalfields Market dekat situ, dengan tampangnya yang tak jauh-jauh amat dari kebanyakan pasar kakilima di Jakarta. Barang-barang impor dari Cina dijajakan di sini, dan para turis Asia yang datang ke London pertama kali biasanya berkunjung ke sana untuk berbelanja oleh-oleh karena tergoda harganya yang miring.
Sampai akhirnya perubahan itu datang ke Brick Lane, sewindu lalu. Adalah Piers Roberts dan Rory Dodd—keduanya pemilik toko furnitur kontemporer besar bernama ”Same”—yang membawanya ke sana.
Pertama-tama dengan cara ”menyulap” sebuah pabrik bir tua yang berlokasi di situ dan tak lagi terpakai, The Old Truman Brewery, menjadi arena pameran para desainer. Mereka memajang karya-karya kreatif mulai dari desain produk, arsitektur, hingga rancang busana dari seluruh negeri.
Ternyata sambutannya luar biasa. Dengan dukungan penuh pemerintah kota, warga di sekitar lingkungan pun akhirnya bisa diyakinkan: penataan ulang akan menciptakan lebih banyak peluang ekonomi bagi mereka.
Sejak itulah secara perlahan Brick Lane berubah wajah dan menjadi ikon penting industri kreatif London. Dan sejak 2003, setiap September menjadi bulan penting dengan London Design Festival, yang mengundang peserta dari banyak negara.
Menurut Grant Gibson dalam pengantar editorialnya untuk publikasi resmi festival keempat tahun ini, ada beberapa sebab antusiasme itu. Pertama, karena ekonomi Inggris mulai kembali bergairah setelah beberapa tahun lesu pada awal 1990-an.
Pada saat bersamaan, arena politik sedang bergelora dengan tampilnya orang-orang muda. Merekalah mesin utama kemenangan Partai Buruh yang mengusung Tony Blair—ketika itu 43 tahun dan tercatat sebagai perdana menteri termuda—dalam pemilihan umum 1997, dan menggusur dominasi Partai Konservatif yang sudah 18 tahun berkuasa.
Panggung hiburan Inggris pun makin marak dengan munculnya generasi baru para artis muda, menggantikan para gaek, dan lebih banyak menghiasi halaman-halaman muka The Daily Mail. Tapi Brick Lane hanyalah satu contoh bagaimana menangkap semangat kreatif para seniman yang kebanyakan bekerja individual itu, dan secara jitu ”dikawinkan” dengan tata kelola berskala industri.
Hal penting lain, tentu saja, adalah semangat yang dibawa orang-orang muda dalam pemerintahan baru itu. Mereka mulai menyadari, ada yang sedang berubah dalam perekonomian Inggris. Era keemasan bisnis konsultan manajemen dan jasa keuangan tampaknya mulai surut dan segera akan digantikan sektor baru yang tumbuh amat pesat, yakni industri kreatif.
Industri yang masuk kategori ini meliputi 13 jenis, mulai dari periklanan, kerajinan, penerbitan, musik, film, seni pertunjukan, desain, seni busana, arsitektur, radio dan televisi, hingga perangkat lunak permainan interaktif dan komputer. Langkah pertama yang diambil pemerintah melalui Departemen Budaya, Media, dan Olahraga adalah pemetaan industri ini pada 1998, dilanjutkan pada 2001.
Dari situ tampak, antara 1997 dan 2002, sektor ini tumbuh sekitar 5 per-sen per tahun. Itu berarti dua kali lebih cepat dibanding rata-rata keseluruhan pertumbuhan ekonomi nasional. Di London saja sektor ini menyerap lebih dari 500 ribu tenaga kerja dan menyumbang satu dari setiap lima lapangan kerja baru.
Industri kreatif juga telah menjadi sektor kedua terbesar, setelah jasa bisnis dan keuangan, dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto sekitar £ 21 miliar (Rp 361 triliun lebih) per tahun. ”Sementara dekade lalu adalah milik para konsultan manajemen,” kata Wali Kota London, Ken Livingstone, dalam sebuah pengantar laporan tentang industri kreatif pada 2002, ”dekade selanjutnya adalah giliran bagi para desainer, penerbit, artis, dan mereka yang bergerak di sektor kreatif ini.”
Data inilah yang membuat pemerintahan Blair secara khusus mengangkat satu menteri untuk mengurus dan memajukan industri ini. Pada awal 2003, Livingstone membentuk Komisi Industri Kreatif, yang ditugasi menyokong sektor ini di London. Langkah itu diambil mengingat sebagian besar bisnis kreatif berpusat di London.
Lebih dari sepertiga perusahaan desain berbasis di kota kosmopolitan ini. Di tangan merekalah separuh perputaran modal dalam industri desain di seluruh Inggris beredar. Begitu pula industri musik, yang menghasilkan perputaran uang hingga 1,5 miliar poundsterling (sekitar Rp 26 triliun), hampir setengahnya ada di ibu kota itu.
Persoalannya kemudian: bagaimana kebijakan dan birokrasi pemerintahan yang terkenal kaku itu bisa bekerja sama dan menyokong para pelaku di sektor kreatif, yang kebanyakan pengusaha kecil, atau bahkan individual itu? Untuk itulah Komisi Industri Kreatif bersama Kantor Pembangunan London membentuk lembaga operasional yang dinamai Creatif London, dengan anggaran £ 500 juta (setara dengan Rp 8,6 triliun) per tahun.
Mereka inilah yang, dengan tampil lebih ”funky”, berhubungan langsung dengan para seniman, manajer artis, pemilik teater, dan sebagainya. ”Bahkan logo lembaga pun kami buat sangat beda dari simbol resmi umumnya,” kata Tom Campbell, salah satu pejabat Creatif London. ”Tujuannya agar kami jadi lebih tampak informal.”
Tugas pertama mereka adalah mengubah cara pandang para seniman dan pelaku industri terhadap pekerjaan yang mereka geluti. Sebab, kata Campbell, banyak seniman yang sangat inovatif menjalaninya sebagai bagian dari gaya hidup sehingga sedikit ”alergi” ketika harus bersentuhan dengan pasar dan logika industri. ”Sebagian lagi sulit berkembang karena hambatan modal dan kurangnya akses pasar.”
Kebalikan dari gaya dan pendekatan mereka yang informal, Creatif London sebenarnya justru mengupayakan agar bisnis kreatif ini sebisa mungkin bisa masuk ke sektor formal. Sebab, hanya dengan begitulah usaha mereka akan bisa terhubungkan dengan sumber-sumber keuangan resmi, seperti perbankan.
”Kami memberi mereka pelatihan-pelatihan,” ujar Campbell. Mulai dari bagaimana membuat laporan keuangan yang rapi dan diakui bank, hingga membantu mempertemukan para pengusaha pemula dengan calon investor. Di saat yang sama, pemerintah terus aktif mensponsori penciptaan pasar-pasar baru, seperti telah dilakukan di Brick Lane.
Soal modal ini memang tak gampang. Kebanyakan lembaga keuangan dan bank masih menganggap bisnis kreatif kelewat berisiko sehingga mereka enggan mengucurkan kreditnya. ”Jalan keluarnya, ya, harus dari pemerintah,” kata Campbell. Yakni melalui pemberian kredit modal ventura. Cukup dengan menunjukkan rencana usaha, plus keterampilan dan pengetahuan memadai, mereka bisa mendapat pinjaman hingga 10 kali lipat dari modal yang sudah ada di kantong mereka.
Harus diakui, kata Campbell, risiko dalam bisnis ini memang tinggi. ”Mungkin 50 persennya gagal,” ujarnya tentang para pemula yang mereka bantu. Tapi di sinilah gunanya pemerintah. Dan untuk pencapaian yang lebih besar, risiko itu dianggap sepadan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo