Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Cantrang kini tengah menjadi perdebatan. Apa dan bagaimana cara kerja alat penangkap ikan di laut ini?
Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa nelayan dilarang menggunakan cantrang untuk menangkap ikan. Penggantinya, KKP akan membagikan alat penangkap ikan kepada nelayan pengganti cantrang yang dianggap lebih ramah lingkungan.
Baca : Nelayan Sampaikan Petisi Minta Jokowi Perbolehkan Pakai Cantrang
Cantrang adalah alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Cantrang dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan.
Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.
Penggunaan tali selambar yang mencapai total panjang lebih dari 1.000 m (masing-masing sisi kanan dan kiri 500 m) menyebabkan sapuan lintasan tali selambar sangat luas. Ukuran cantrang dan panjang tali selambar yang digunakan tergantung ukuran kapal.
Pada kapal berukuran diatas 30 Gross Ton (GT) yang dilengkapi dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage), cantrang dioperasikan dengan tali selambar sepanjang 6.000 m.
Dengan perhitungan sederhana, jika keliling lingkaran 6.000 m, diperoleh luas daerah sapuan tali selambar adalah 289 Hektar. Penarikan jaring menyebabkan terjadi pengadukan dasar perairan yang dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan hasil penelitian di Brondong - Lamongan (Institut Pertanian Bogor, 2009) hanya 51% hasil tangkapan cantrang yang berupa ikan target, sedangkan 49% lainnya merupakan non target. 17_ekbis_CANTRANG
Adapun hasil penelitian di Tegal (Universitas Diponegoro, 2008), penggunaan cantrang hanya dapat menangkap 46% ikan target dan 54% lainnya non target yang didominasi ikan rucah.
Ikan hasil tangkapan cantrang ini umumnya dimanfaatkan pabrik surimi dan dibeli dengan harga maksimal Rp 5000 perkilogram. Sedangkan tangkapan ikan non target digunakan sebagai pembuatan bahan tepung ikan untuk pakan ternak.
Hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang pada tahun 2004 berjumlah 3.209 unit, meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada tahun berjumlah 10.758 unit.
Sedangkan hasil tangkapan per unit kapal cantrang (Catch Per-unit of Effort/CPUE) menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun 2007.
Sebelumnya, menteri Susi saat melakukan kunjungan kerja ke Tegal, Senin, 13 November 2017 menjelaskan soal larangan cantrang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Susi saat itu mengungkapkan alasannya melarang nelayan memakai alat tangkap cantrang. Selain karena merusak lingkungan, menurut Susi, cantrang juga tidak sepenuhnya membuat nelayan sejahtera.
"Kami ingin nelayan itu taraf hidupnya meningkat. Kalau masih pakai alat tangkap seperti yang sekarang ini (cantrang), paling-paling dapatnya Mata Goyang, Kuniran, yang kecil-kecil itu," kata Susi. Dia meminta kepada para nelayan di wilayah Pantura Jateng untuk belajar kepada nelayan yang ada di luar jawa seperti di Sumatera dan Sulawesi.
ANDITA RAHMA | MUHAMMAD IRSYAM FAIZ