Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMALAN di pasar uang dunia berkali-kali berobah. Terutama
tentang sampai berapa jauh akan jatuhnya nilai dollar terhadap
Yen. Mereka pernah meramalkan 210 Yen sebagai terendah. Kemudian
diramalkan, ya, 205 sebagai terendah. Sesudah itu ada lagi
ramalan 200 sebagai paling rendah. Ternyata ia masih jatuh lagi,
dan minggu lalu berkisar dibawah 190. Maka timbul lagi ramalan
baru bahwa mungkin 180 sebagai terendah.
Kemerosotan dollar ini dipercepat dengan diumumkannya hasil tim
ahli ekonomi OPEC. Pertemuannya yang terakhir di London
menghasilkan rekomendasi untuk OPEC agar penilaian penerimaan
minyak menggunakan keranjang mata uang tertentu. Artinya,
dilepaskannya dollar sebagai satu-satunya mata uang untuk
perhitungan unit penerimaan minyak. Para spekulan di pasar uang
dengan sendirinya tak memperhatikan bahwa apa yang diusulkan
ahli ekonomi OPEC tersebut baru merupakan usul saja, yang masih
harus disetujui oleh konperensi tingkat menteri OPEC Desember
nanti di Abu Dhabi.
Tapi yang paling parah adalah angka perdagangan AS. Untuk Juni,
ternyata defisit perdagangan AS dengan Jepang masih berjumlah
US$1 milyar. Ini berarti tak adanya perbaikan dalam defisit
perdagangan AS dengan Jepang dari bulan sebelumnya. Dengan
demikian, selama setengah tahun pertama ini, defisit perdagangan
AS dengan Jepang berjumlah US$6,3 milyar, atau dua kali lipat
jumlah periode yang sama tahun lalu. Kalau defisit ini tak bisa
diperbaiki, pasar uang akan menganggapnya sebagai alamat tak
baik bagi dollar, dan bisa menyebabkan situasi dollar lebih
buruk lagi.
Bisakah, neraca perdagangan AS membaik enam bulan mendatang ini?
Ini tergantung dari beberapa kemungkinan. Impor minyak AS
mungkin akan berkurang dengan mulai mengalirnya minyak Alaska.
Minyak Alaska, yang katanya nantinya bisa berkapasitas 12 juta
barrel sehari (satu seperlima kali produksi Saudi Arabia) plus
program konservasi yang akan dilaksanakan, mungkin akan
menghemat impor minyak AS dengan 1 juta barrel sehari akhir
tahun ini.
Sementara itu harga Yen yang tinggi mulai melemahkan daya saing
barang Jepang terutama di AS. Masatama Okuma, wakil presiden
"Nissan Motor Co" mengkhawatirkan bahwa jatuhnya nilai dollar di
bawah 200 Yen "akan punya akibat serius bagi ekspor mobil
Jepang." Dan produsen Datsun tersebut mengemukakan bahwa ekspor
mobilnya ke AS selama tiga bulan terakhir sudah berkurang
dibanding periode yang sama tahun lalu. "Nah," kata Menteri
Keuangan AS Michael Blumenthal kepada para wartawan, "sekarang
anda mungkin tak tertarik lagi buat beli Toyota, tapi bisa
tertarik oleh harga Ford atau Chevy."
Tindakan keras AS terhadap banting harga dari Jepang, bulan
Juni, mengakibatkan impor baja merosot dengan 1,4 juta ton. Ini
tidak saja mengurangi bagian baja impor di pasaran AS dari 20%
menjadi 12%, tapi berarti juga perbaikan neraca pembayaran.
Dan perbaikan dalam neraca pembayaran AS memang sebenarnya sudah
terjadi mulai Juni. Benar bahwa AS mengalami defisit US$1 milyar
dengan Jepang, tapi defisit seluruhnya "hanya" US$1,6 milyar
jauh lebih kecil dari Mei dan April yang masing-masing berjumlah
US$ 2,2 milyar dan US$2,9 milyar. Ini merupakan defisit yang
terkecil sejak 13 bulan terakhir, dan merupakan defisit di bawah
US$2 milyar untuk pertama kalinya tahun ini.
Inilah sebabnya nasib dollar terhada beberapa mata uang Eropa
lebih baik daripada terhadap Yen. Di Frankfurt Zurich dan Paris,
nilai dollar bisa dikatakan mantap minggu lalu, setelah goncang
sedikit.
Tapi perbaikan di sektor perdagangan luar negeri ini tak akan
ada artinya bagi dollar, selama inflasi di AS sendiri belum bisa
dikontrol. Inflasi dinyatakan musuh nomor satu oleh Presiden
Carter. "Kanselir" inflasinya Robert Strauss mengungkapkan bahwa
inflasi AS tahun ini akan "dengan mudah" melampaui sasaran 7,2%
seperti yang semula ditetapkan.
Derasnya inflasi ini berarti pukulan terhadap dollar di kandang
sendiri, dan bila harga barang AS di dalam negeri naik lebih
cepat dari harga di luar negeri maka nafsu untuk impor menjadi
kambuh lagi, yang bisa memperburuk neraca pembayaran dengan
segala konsekwensinya terhadap dollar. Perdana Menteri Jepang
Fukuda mungkin merupakan orang pertama yang menyadari hubungan
antara neraca-perdagangan dan inflasi AS ketika dia
memperingatkan "Surplus perdagangan Jepang dengan AS tak mungkin
mengecil kecuali kalau AS sanggup mengendalikan inflasinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo