Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

MLA RI - Swiss Diteken, Kapan Hasil Tindak Pidana Dieksekusi?

Mutual Legal Assistance (MLA) Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss bakal memudahkan proses penegakan hukum di kedua negara.

7 Februari 2019 | 12.34 WIB

Menteri Hukum dan Hak Aak Asasi Manusia RI Yasonna Hamonongan Laoly menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter di Bernerhof, Bern, Swiss, Senin, 4 Februari. Istimewa
Perbesar
Menteri Hukum dan Hak Aak Asasi Manusia RI Yasonna Hamonongan Laoly menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter di Bernerhof, Bern, Swiss, Senin, 4 Februari. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung M. Prasetyo memastikan perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss bakal memudahkan proses penegakan hukum di kedua negara. Salah satunya termasuk untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana yang dilarikan ke Swiss. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun begitu, kata Prasetyo, Kejaksaan Agung perlu lebih dulu mengkaji perjanjian tersebut dan kasus tindak pidana yang ada. Dia menyatakan belum akan mengajukan bantuan pengembalian aset dalam waktu dekat. “Nanti itu ada tahapan berikutnya,” ujarnya kepada Tempo, Selasa, 5 Februari 2019.

Prasetyo menjelaskan, penandatanganan perjanjian MLA Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss tidak serta-merta bakal diikuti eksekusi pengambilan aset hasil tindak pidana. Selain perjanjian itu memerlukan ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor bakal melaksanakan sejumlah langkah sebelum memanfaatkan fasilitas tersebut.

Kepala Bidang Pemulihan Aset Transnasional Kejaksaan Agung, Yusfidli Adhyaksana, menambahkan, salah satu kunci pengembalian aset di Swiss adalah pembuktian unsur pidana di pengadilan Swiss. Dia menilai, meski MLA akan membuat upaya Indonesia dalam mengembalikan aset di Swiss menjadi lebih fokus, hasil konkretnya tidak dapat diharapkan dalam waktu dekat. “Belajar dari pengalaman Nigeria, dibutuhkan waktu yang panjang untuk benar-benar mendapat hasil yang nyata,” ujarnya. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menandatangani MLA dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter, di Bernerhof Bern, Senin, 4 Februari 2019. Perjanjian yang terdiri atas 39 pasal itu antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. “Perjanjian MLA ini juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, kemarin.

Yasonna menuturkan proses negosiasi perjanjian MLA berlangsung alot selama bertahun-tahun. Pemerintah Indonesia dan Swiss telah berunding dua kali sebelum akhirnya perjanjian disepakati. Perundingan dilakukan di Bali pada 2015 dan di Bern pada 2017. “Swiss sangat menjaga keamanan dan kerahasiaan sistem perbankan mereka,” ucapnya.

Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman D. Hadad, menyebut perjanjian itu sebagai capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa. Menurut dia, perjanjian MLA juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil korupsi. “Ini adalah follow-up pidato Presiden pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun lalu,” tuturnya.

Pemerintah menduga selama ini banyak kekayaan warga Indonesia yang disimpan di luar negeri. Swiss menjadi salah satu yang tersohor karena sistem kerahasiaan perbankannya yang sangat ketat. Dalam sejumlah kasus tindak pidana, pemerintah Indonesia kerap kesulitan mengeksekusi perkara karena tidak memiliki MLA.

Salah satu contohnya ialah perkara terpidana 10 tahun kasus pengucuran kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara, Eduardus Cornelis William Neloe. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu memiliki aset US$ 5,2 juta di Bank Swiss. Pemerintah Indonesia sempat berhasil meminta Swiss membekukan aset tersebut sebelum akhirnya dibuka kembali di Deutsche Bank. Pemerintah Swiss menilai pemblokiran tersebut tidak memiliki landasan hukum meski Neloe sudah divonis bersalah. 

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan perjanjian MLA ini harus dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel. Menurut dia, perlu ada pembentukan gugus tugas antara Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menindaklanjuti perjanjian tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan pihaknya akan memanfaatkan MLA untuk menangani kasus tindak pidana di bidang perpajakan. “Kalau ada satu kasus yang akan disidik atau diselidiki terkait dengan tindak pidana perpajakannya, kami bisa memanfaatkan itu,” ucapnya. Selama ini, Ditjen Pajak belum pernah menangani kasus perpajakan yang melibatkan negara lain. 

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus