Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pengawet Makanan dari Perusahaan Peternakan

Pengawet makanan sudah menjadi bahaya laten di Sumatera Selatan. Sejumlah temuan menunjukkan banyak industri pengolahan makanan memakai larutan kimia tersebut. Dari beberapa dokumen dan penelusuran di lapangan, larutan itu merembes dari salah satu perusahaan peternakan, PT Agrinusa Jaya Santosa, lini usaha Japfa.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai dokter hewan dan kepala cabang perusahaan peternakan, Ardi Sumbogo punya akun resmi untuk membeli formalin. Termasuk di PT Agrinusa Jaya Santosa (AJS) cabang Palembang, Sumatera Selatan. Ardi biasanya membeli larutan formalin untuk memenuhi kebutuhan disinfektan perusahaannya. Larutan yang mengandung formaldehida berkadar 37 persen itu menjadi primadona peternakan ayam karena ampuh menumpas bakteri di sekitar kandang.

Pada akhir 2017, Kepala Cabang Malindo Breeding Palembang itu menemukan keganjilan. Namanya tercatat pernah membeli formalin ke AJS pada Juli 2017. AJS adalah cucu usaha PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), salah satu distributor barang berbahaya di Sumatera Selatan. Padahal dia tidak pernah memesan barang tersebut.

Ardi melaporkan keganjilan itu kepada Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Cabang Sumatera Selatan pada Agustus 2017. Ardi dan pengurus Asohi Sumatera Selatan terlibat diskusi panjang saat itu. Salah seorang peserta diskusi merekam pembicaraan. “Hati-hati, Pak Ardi. Tutup saja akun Bapak. Nanti bahaya, Anda diusut,” kata salah seorang peserta rapat. Saat itu kepolisian setempat serta Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Palembang sedang gencar melacak formalin yang merembes sebagai pengawet makanan.

Seusai pertemuan, Asohi Sumatera Selatan menerbitkan imbauan pada 21 Agustus 2017. Asosiasi meminta penanggung jawab perusahaan obat hewan di Sumatera Selatan mengawasi penjualan formalin mereka. “Kasus Pak Ardi itu terjadi di pengurusan yang lama,” tutur Ketua Asohi Sumatera Selatan Muhammad Zuhri, awal November 2018.

Perajin tahu di Jalan Noerdin Pandji, Palembang./Prawira Maulana

Asohi Sumatera Selatan tak punya data pasti angka kebutuhan disinfektan formalin dari peternakan. Dilihat dari jumlah produksi ayam broiler tiap bulan, kebutuhan maksimal formalin hanya 6.000 liter per bulan. “Itu dengan asumsi semua kandang peternakan menggunakan formalin sebagai disinfektan. Tanpa produk lain,” ujar Muhammad Zuhri.

AJS saban bulan menjual rata-rata 5.000 liter formalin. Angka itu belum termasuk dari PT Indovetraco Makmur Abadi, perusahaan yang terafiliasi dengan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), yang juga mengantongi izin sebagai distributor formalin. Karena besarnya peredaran formalin ketimbang kebutuhan, ditengarai ada yang merembes menjadi bahan pengawet makanan. Keluhan dokter Ardi dan imbauan Asohi menguatkan indikasi tersebut.

Apalagi saban tahun Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang menemukan banyak penganan mengandung formalin. Pada 2015, misalnya, BBPOM Palembang menguji 327 sampel makanan dari sejumlah pasar selama bulan puasa. Hasilnya, 88 sampel mengandung bahan berbahaya. Dari 88 sampel itu, 90 persen mengandung formalin. Padahal, dalam jangka panjang, konsumsi makanan berformalin menyebabkan gangguan pencernaan hingga kanker. 

Sepanjang tahun lalu, BBPOM Palembang sudah mengungkap lima kasus penggunaan formalin pada makanan. Menurut Kepala BBPOM Palembang Hardiningsih, lima kasus pabrik tahu yang menggunakan formalin itu sudah diproses. “Satu sudah diputus pengadilan. Dua lainnya di kejaksaan, dan tiga kasus sudah selesai penyidikan,” katanya, akhir Desember 2018.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Sumatera Selatan Yustianus sudah tebal kuping mendengar banyaknya perajin tahu menggunakan formalin. Para perajin disebut-sebut mendapat pasokan formalin dari industri peternakan. “Kami dapat cerita bahwa formalin dibeli dari kandang ayam,” ujarnya, akhir Desember 2018.

DARI laporan dokter Ardi Sumbago dan imbauan Asohi, kami menelusuri lika-liku formalin yang merembes sebagai pengawet makanan. Seorang pegawai AJS Palembang mengungkapkan, formalin curah dengan kadar formaldehida 37 persen milik perusahaannya memang kerap diselewengkan.

Profil Agrinusa Jaya Santosa

AJS menjual formalin disinfektan Rp 14.090 per liter. Para agen menjualnya kepada konsumen bahan pengawet seharga Rp 25 ribu per liter. Menurut sumber internal tersebut, mencatut nama pembeli terdaftar yang punya akun di perusahaan, seperti yang menimpa dokter Ardi, adalah salah satu modusnya. Pembelian model ini biasanya dilakukan secara tunai. Pembeli cukup meneken surat pernyataan bermeterai bahwa formalin akan digunakan untuk peternakan, yang menurut sumber ini, gampang dipalsukan. “Manajemen sudah tahu lama, tapi dibiarkan,” ucapnya.

Data penjualan formalin AJS merekam jejak pencatutan nama dokter Ardi. Pada 11 Juli 2017, dokter Ardi tercatat memesan formalin sebanyak satu drum berkapasitas 200 liter. Harganya Rp 2,4 juta atau Rp 12.1200 per liter karena pembelian dalam jumlah besar. Ardi kaget ketika disodori temuan itu, Oktober 2018. “Saya enggak pernah jual-beli formalin yang dimaksud. Saya tidak pernah lihat barangnya seperti apa, 200 liter itu banyak sekali.”

Kepala Cabang PT AJS Palembang Agus Supriyadi mengakui adanya pencatutan nama Ardi dalam pemesanan formalin di perusahaannya. Namun, menurut Agus, pencatutan nama Ardi terjadi pada Juli 2018, bukan Juli 2017. “Kalau yang Juli 2017 saya tidak tahu,” tutur Agus, Jumat, 15 Maret lalu, di kantor Japfa, Jakarta. Namun, Agus menambahkan, masalah pencatutan pada Juli 2018 itu sudah beres. “Ada peternak butuh formalin tapi pinjam nama Pak Ardi karena peternak itu tidak bisa beli. Formalinnya dipakai untuk peternakan.”

Nama Ardi memang dua kali dicatut. Data penjualan perusahaan pada Juli 2018 merekam Ardi membeli formalin. Jumlahnya dua jeriken besar, masing-masing 20 liter. Dimintai klarifikasi soal pemesanan ini, Ardi lagi-lagi menyatakan tak pernah memesan. “Nanti dikonfirmasi saja ke AJS,” ujarnya.

Agus mengakui dalam perkara pencatutan Juli 2018 itu ada kesalahan prosedur di tim penjualan. “Sudah ada surat peringatan berupa SP2,” ucap Agus, yang ditemani Doni Ismusaputra, Sales Area Supervisor, yang menerima surat peringatan kedua tersebut.

Japfa mengklaim sudah membangun sistem yang memastikan tidak adanya rembesan. Hanya pelanggan terdaftar yang bisa memesan formalin. Corporate Affairs Director Japfa Githa Alina menjelaskan, sebelum membeli, pelanggan harus mengisi surat pernyataan. Di situ pembeli berjanji tidak akan menyalahgunakan formalin.

Sejumlah sumber di PT AJS Palembang menyebutkan perusahaan juga kerap menjual formalin kepada agen-agen. Mereka punya akun resmi di perusahaan, tapi tidak memenuhi syarat baik sebagai pengecer maupun pengguna akhir.

Pada akhir Agustus 2018, kami menghubungi salah seorang agen formalin di Sumatera Selatan, Yahya Hadi. Kami mengaku sebagai pedagang ayam potong. Selain menjadi pengawet tahu dan mi basah, formalin kerap digunakan pedagang ayam potong untuk mengawetkan dagangannya.

Dari ujung telepon, Yahya meminta waktu dua hari untuk menyiapkan pesanan. Harganya Rp 25 ribu per liter. Kami memesan 20 liter. Dia meminta uang tanda jadi Rp 400 ribu ditransfer. Satu pekan berselang, kami menemui Yahya di rumahnya di Jalan Sukomoro, Banyuasin, untuk melunasi sekaligus mengambil pesanan.

Yahya tidak memegang izin sebagai distributor atau pengecer, bahkan pengguna formalin. Tapi ia mengaku bisa mendapatkan obat atau bahan kimia yang berhubungan dengan peternakan. Dia mengaku punya akun di AJS. “Saya bisa pesankan. Nanti mobil AJS langsung antar formalin ke tempat Anda,” tutur Yahya, berpromosi. 

Dimintai konfirmasi tentang keberadaan Yahya, Agus Supriyadi mengaku tidak- tahu. “Setahu saya tidak ada agen atas nama -Yahya.” Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-Dag/10/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya, semua produsen, importir, distributor, pengecer, serta pengguna akhir harus mengantongi izin.

SAAT pertama kali menghubungi Yahya Hadi, kami melongok ke kantor AJS cabang Palembang di Jalan Soekarno-Hatta, Palembang. Sekitar 40 drum dengan kapasitas masing-masing 200 liter penuh formalin berjajar di pekarangan kantor berselimut terpal. Sumber dari dalam perusahaan menyebutkan formalin itu baru tiba dari Jakarta. Tiga mobil boks terparkir di sana.

Pada 4 September 2018 pagi, sebuah mobil boks berpelat nomor B-9306-B keluar dari kantor AJS. Sesampai di Jalan HM Noerdin Pandji, mobil berbelok ke jalan tanah, lalu berhenti di sebuah bangunan semipermanen. Mobil boks terlihat menurunkan beberapa jeriken berisi cairan putih. Bangunan penuh tumpukan kayu dan jeriken itu belakangan diketahui sebagai pabrik tahu milik Siswanto.

Setelah mobil boks pergi, kami masuk ke pabrik tahu itu, berpura-pura meminta air bersih untuk cuci tangan dengan menuang jeriken yang baru diturunkan. Pekerja pabrik melarang.

Sepekan berselang, kami membuntuti mobil pikap berpelat BG-9868-NB dari pabrik tahu tersebut. Menjelang subuh, mobil keluar mengangkut ember-ember penuh tahu menuju Banyuasin. Mobil di antaranya menurunkan tahu di pasar tradisional Sukomoro, Palembang.

Penduduk sekitar menyebutkan pabrik tahu itu baru berdiri, belum genap dua tahun. Pada Selasa, 12 Maret lalu, seorang perempuan mengaku sebagai istri Siswanto. Namun ia membantah jika pabriknya disebut menerima pasokan formalin dari AJS kendati sudah ditunjukkan video mobil boks AJS yang diduga menurunkan formalin di pabrik itu, awal September 2018. “Kami tidak pernah pakai formalin. Kami pakai biofresh untuk mengawetkan tahu,” katanya.

Harga pengawet alami ini jauh lebih mahal daripada formalin, mencapai Rp 30 ribu per liter. Daya tahannya pun cuma dua hari. Sedangkan tahu berformalin bisa awet sampai seminggu. 

Berdasarkan pemeriksaan lewat aplikasi samsat online Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 21 Oktober 2018, mobil boks B-9306-B terdaftar atas nama PT Agrinusa Jaya Santosa. Githa Alina, Corporate Affairs Director Japfa, mengakui mobil dengan pelat nomor itu milik perusahaan. “Tanggal 5 September 2018 mobil sudah ditarik ke pusat.” Agus menambahkan, berdasarkan catatan logbook kendaraan, mobil boks itu tidak bertugas pada 4 September 2018. Mobil justru bertugas sehari sebelumnya. “Itu pun hanya satu antaran,” ucapnya.

Di Bawah Cengkeraman Disinfektan

PRAWIRA MAULANA (PALEMBANG), KHAIRUL ANAM (JAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus