Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Pajak Karbon Berat di Ongkos

Pengusaha menolak pajak karbon karena memperburuk daya saing dengan produsen di negara lain.

30 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pajak karbon akan menambah biaya produksi petrokimia US$ 5-10 per metrik ton.

  • Pengusaha tekstil Rizal memperkirakan harga produknya naik 20 persen akibat pajak karbon.

  • Pelaku industri meminta pemerintah mengkaji ulang peraturan pajak karbon.

JAKARTA — Rencana pemerintah memungut pajak karbon mendapat respons negatif dari pengusaha. Mereka menolak kebijakan tersebut dengan dalih memperburuk daya saing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, pajak karbon akan menambah biaya produksi industri petrokimia. “Produk kami akan lebih mahal rata-rata US$ 5-10 per metrik ton,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, setiap orang maupun badan usaha yang menghasilkan emisi karbon akan dikenakan pajak Rp 75 per kilogram CO2e. Kebijakan ini diharapkan bisa membantu Indonesia mengurangi 29 persen emisi pada 2030 dengan upaya sendiri serta mengurangi 41 persen dengan bantuan internasional sesuai dengan Perjanjian Paris.

Namun, kata Fajar, pajak karbon menambah biaya, sehingga produk dalam negeri lebih mahal dibanding buatan negara tetangga. Di kawasan Asia Tenggara, kata dia, hanya Singapura yang menerapkan pajak karbon. Dia memperkirakan dampak dari mahalnya produk lokal setelah pengenaan pajak karbon adalah membanjirnya barang impor yang lebih murah. “Pengusaha akan berpikir ulang untuk merealisasi investasi baru karena biaya produksi lebih mahal,” tuturnya.

Uji emisi gas buang kendaraan di Kantor Dinas Lingkungan Hidup, Jakarta, 26 Januari 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Fajar mengusulkan pemerintah agar mengandalkan perdagangan karbon untuk mendongkrak pendapatan sekaligus menekan emisi karbon. Dia menyebutkan program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta program Industri Hijau Kementerian Perindustrian bisa lebih dikembangkan. Perusahaan yang menghasilkan emisi di atas baku mutu dikenakan sanksi. Sebaliknya, harus ada penghargaan bagi mereka yang mampu menurunkan emisi. Menurut Fajar, selama ini perusahaan berupaya menurunkan emisi melalui program tersebut.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga khawatir akan gempuran produk impor setelah pemungutan pajak karbon. Sekretaris Jenderal API, Rizal Tanzil Rakhman, menyebutkan instrumen pajak salah besar jika digunakan untuk mengurangi emisi karbon. Dia berharap pemerintah mengkaji ulang peraturan tersebut. “Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon,” ujar dia. Rizal menghitung potensi kenaikan harga produk tekstil mencapai 20 persen jika pajak karbon dipungut.

Rizal menuturkan selama ini produsen tekstil sudah berupaya mengurangi emisi karbon lewat penggunaan teknologi ramah lingkungan. Namun investasi yang diperlukan cukup tinggi. Biaya tambahan diperlukan untuk produksi karena penerapan pajak karbon berpotensi menaikkan tarif listrik serta bahan bakar.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengatakan sudah ada upaya untuk mengurangi emisi lewat instrumen pajak. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 yang mengatur Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap kendaraan bermotor (PPnBM). Semakin rendah emisi gas buang dan konsumsi bahan bakar dari kendaraan, jumlah pajak yang harus dibayarkan kian kecil. “Kebijakan ini berlaku pada Oktober nanti,” ujarnya.

Direktur Riset The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, menyatakan pajak karbon penting untuk mengubah pola beraktivitas, baik itu perorangan maupun korporasi. Kebijakan ini diharapkan bisa membuat semua pihak berupaya menghasilkan emisi seminim mungkin demi lingkungan. Bonusnya adalah penerimaan negara.

Berly tidak menampik anggapan bahwa pajak karbon menyebabkan kenaikan biaya produksi. “Tapi kalau perusahaan bisa untung dengan merusak lingkungan, itu juga tidak adil,” ujarnya. Menurut Berly, sangat penting untuk menyelamatkan ekosistem. Dalam ekonomi berbasis sumber daya alam, kata dia, harga produk harus mencerminkan biaya yang terjadi selama proses produksi, termasuk kerusakan alam, dalam hal ini emisi karbon.

CAESAR AKBAR | VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus