Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Calon Presiden Prabowo Subianto mengatakan gini ratio atau indeks ketimpangan ekonomi Indonesia telah mencapai angka 45,4 atau juga bisa disebut 0,454. Menurut dia, angka ini cukup untuk membuktikan bahwa sistem ekonomi Indonesia saat ini telah menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Artinya, 1 persen dari rakyat kita menguasai 45 persen kekayaan," kata Prabowo dalam acara Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Pondok Pesantren Minhajurrosyidin Pondok Gede, Jakarta Timur, Kamis, 11 Oktober 2018. "Jadi konsentrasi kekayaan di 1 persen, di mana terwujud kesejahteraan saudara-saudara, tidak mungkin."
Dalam acara ini, tak hanya gini ratio yang disinggung oleh Prabowo. Dalam pidatonya, Ketua Umum Partai Gerindra ini juga menyebut sistem perekonomian sebagai ekonomi kebodohan. "Ini menurut saya bukan ekonomi neolib lagi, ini lebih parah dari neolib. Ini menurut saya ekonomi kebodohan. The economics of stupidity. Ini yang terjadi," kata dia.
Seberapa akurat data yang disampaikan Prabowo?
Faktanya hingga Oktober 2018 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memang belum menyampaikan data terbaru terkait gini ratio Indonesia. Terakhir data dikeluarkan pada Maret 2018 dengan angka sebesar 0,389 atau menurun 0,002 poin dibandingkan September 2017. Dengan begitu, belum diketahui apakah rasio gini Indonesia semakin memburuk sejak Maret hingga Oktober 2018 ini atau membaik.
Adapun dalam delapan tahun terakhir, gini ratio Indonesia berfluktuasi naik dan turun. Pada Maret 2011, gini ratio mencapai angka 0,41, kemudian mencapai titik tertinggi pada September 2014 hingga 0,414. Sebulan kemudian Presiden Joko Widodo mencadi presiden dan dalam empat tahun terakhir, gini ratio turun 0,025 poin dari 0,414 menjadi 0,389.
Dalam skema gini ratio, semakin tinggi angkanya maka semakin tidak merata ekonomi di suatu negara. Angka di bawah 0,4 adalah kategori ketimpangan rendah, 0,4-0,5 ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 kategori ketimpangan tinggi. Dengan penurunan 0,025 ini, artinya ketimpangan Indonesia membaik, dari sedang menjadi rendah.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ari Kuncoro mengatakan angka ketimpangan per aspek di lapangan bisa saja lebih tinggi daripada angka 0,389 yang
dirilis BPS. Gini ratio dihitung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas dan melibatkan semua aspek mulai dari makanan, pendidikan, hingga hiburan.
Sebagai contoh, angka ketimpangan tanah di perkotaan bisa saja lebih tinggi karena banyak penduduknya yang menyewa hunian dari pada memiliki. Kemudian angka ketimpangan
kesehatan juga bisa lebih tinggi antara masyarakat yang memiliki akses transportasi menuju fasilitas kesehatan dengan yang tidak. Semua aspek itu kemudian dihitung secara
rata-rata sehingga muncullah angka 0,389.
Indonesia, kata Ari, memang pernah mengalami gini ratio hingga 0,45 namun itu terjadi sudah lama, di periode 2004 hingga 2012 saat terjadinya comodities boom. Saat itu, harga komoditas merangkak naik sehingga membuat kekayaan sekelompok masyarakat ikut bertambah. "Saat harga komoditas sekarang turun, otomatis ketidakmerataan turun, jadi yang kaya banget, berberapa berkurang kekayaannya," ujarnya.
Sementara, Ekonom Universitas Indonesia lainnya, Faisal Basri mengatakan bahwa bahwa gini ratio versi BPS sebatas mengukur ketimpangan pengeluaran, bukan ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). "Tentu saja perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan," kata Faisal dalam tulisannya di Majalah Tempo edisi 20 Maret 2017.
Simak berita tentang Prabowo hanya di Tempo.co