Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Parlemen Australia mengesahkan News Media Bargaining Code Law pada Februari 2021.
Pengelola platform harus membayar pemuatan berita kepada perusahaan pers.
Dikhawatirkan hanya mengakomodasi kepentingan media besar.
JAKARTA – Aturan pembagian pendapatan iklan antara perusahaan pers dan penyedia platform digital yang sedang disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tergolong barang baru di industri media. Peneliti media dari Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, mengatakan baru Australia yang menguji skema penguatan hak penerbit berita ini secara matang.
"Australia duluan berhasil dari negara lain. Perusahaan platform membayar kepada media konvensional sebagai pemilik konten," ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Aturan bernama News Media Bargaining Code Law itu disahkan oleh parlemen Australia pada Februari 2021. Kewajiban bagi raksasa platform digital, seperti Google dan Facebook, tersebut muncul dari desakan masyarakat Negeri Kanguru soal pengendalian berita bohong serta ujaran kebencian di media sosial.
Semangat serupa pun gencar didengungkan negara-negara di Eropa sejak pertengahan 2019, tak lama setelah viralnya peristiwa penembakan massal di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Saat itu muncul perdebatan kuat di dunia maya soal bebasnya penyiaran aktivitas teror dan ujaran kebencian di media sosial.
Menurut Ignatius, dengan kelahiran aturan tersebut, pengelola platform harus membayar pemuatan berita kepada perusahaan pers. Baik regulator maupun perumus undang-undang di Australia menilai kedua pihak harus menjalin kemitraan komersial karena saling membutuhkan. Peraturan itu ketok palu seusai perdebatan panjang dan rangkaian revisi, termasuk penolakan dari Google dan Facebook.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo