Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (dolar AS) membuat para pengusaha resah. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Level 16 ribu saja sebetulnya sudah sangat mendongkrak cost of doing business di Indonesia menjadi semakin mahal. Tidak affordable dan tidak kompetitif untuk pertumbuhan industri dalam negeri maupun untuk ekspor," katanya saat dihubungi Tempo via aplikasi perpesanan pada Senin, 17 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Shinta merinci, kenaikan cost of doing business juga tidak terbatas pada kenaikan beban impor bahan baku atau bahan penolong saja. Namun, juga berimbas pada komponen beban-beban usaha lain. Misalnya seperti beban logistik atau transportasi, beban keuangan, dan lainnya.
Pada akhirnya, kata dia, akan merembet pada banyak hal yang mengganggu perputaran roda usaha. "Akan berdampak pada risiko penurunan kinerja usaha, penurunan potensi penciptaan lapangan kerja, kenaikan risiko non-performing loan (NPL), penurunan kapasitas produksi dan lain-lain. Ini baru dampak terhadap industri existing. Padahal, pelemahan nilai tukar juga akan berimbas negatif pada realisasi investasi dan penerimaan investasi asing."
Belum lagi, risiko peningkatan volatilitas atau spekulasi pasar keuangan yang cenderung akan semakin memberikan tekanan terhadap stabilitas makro ekonomi nasional. Shinta menyebut, para pengusaha khawatir bahwa pasar domestik akan semakin lesu dan semakin menahan diri untuk melakukan ekspansi konsumsi bila pelemahan nilai tukar terus dibiarkan.
Apindo berharap pemerintah terus melakukan intervensi kebijakan agar stabilisasi dan penguatan nilai tukar rupiah dapat tercapai. Dia mengakui, hal tersebut memang tidak mudah karena pelemahan nilai tukar ini terjadi akibat kondisi eksternal yang di luar kendali Indonesia. Namun, per hari ini kata dia pelemahan rupiah menjadi mata uang terdalam nomor tiga di ASEAN secara year-to-date.
"Ini harus diwaspadai dan segera dikoreksi bila kita tidak ingin ekspor dan FDI (penanaman modal asing) semakin tergerus. Perlu diingat, kedua aktivitas tersebut menciptakan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan stabilitas makro ekonomi, industrialisasi, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Indonesia secara keseluruhan.
Menurut Shinta, kalau kinerja serta daya saing ekspor dan FDI tidak dijaga, maka pertumbuhan ekonomi RI akan makin melemah. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat jadi terpukul.
Pilihan Editor: BCA Raih Predikat Bank Terbaik di Indonesia Versi Forbes