MENTERI Perhubungan Rusmin Nurjadin menatap berkeliling agak
lama ketika berada di ruang dek itu. Seolah-olah tak percaya
jika dek (kelas ekonomi di kapal penumpang Kerinci itu, yang
tarifnya cuma Rp 30.500 per orang untuk pelayaran
Jakarta-Ujungpandang, dilengkapi tempat tidur hardboard, rak
barang, plus televisi berwarna Blaupunkt layar lebar. Maklum,
dek di Tampomas II yang berharga Rp 27 ribu, biasanya hanya
berupa geladak kapal paling atas dan hanya dilengkapi kain
terpal kumal.
Di Kapal Motor (KM) Kerinci itu, ruang kelas I-IV yang
dilengkapl tempat tidur bagus, sejuk ber-AC, lemari pakaian dan
gorden antiapi, bahkan lebih istimewa. Setiap kabin kelas I (50
kabin, setiap kabin dua orang) dilengkapi pula dengan pesawat
televisl berwarna, meja belajar, lemari pakaian bagus, dan kamar
mandi berair panas. Di semua lantai kapal, yang dilengkapi
dengan bar, toko, salon, cafe, dan musholla itu, ditutup dengan
karpet antiapi. Hiasan kain tenunan tradisional, tumbuhan, dan
gambar alam Indonesia kelihatan tertempel di hampir setiap ujung
anak tangga.
Sekilas memang fasilitas dan panorama di dalam Kerinci mirip
dengan suasana hotel berbintang tiga. Kamar kelas di situ jelas
jauh lebih nyaman dan bersih dibandingkan, misalnya, Tampomas I,
yang kamarnya berbau pesing, penuh sampah, dan kakerlak -- serta
kamar mandinya penuh kotoran manusia kering. Mewahkah Kerinci?
"Tidak, tidak mewah," jawab Menteri Rusmin buru-buru ketika
meninjau 10 Agustus lalu. "Jangan disebut mewah dong, ini kan
usaha untuk meningkatkan pelayanan."
Sesudah 38 tahun merdeka, demikian Sekretaris Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut, J.E. Habibie, baru pertama kali
inilah Pelni benar-benar memiliki kapal penumpang. Di kapal
inilah awak perusahaan itu, katanya, belajar menghargai
penumpang secara manusiawi. Karena barang baru, "penumpang pun
akan diberi penjelasan lewat video bagaimana cara menggunakan
fasilitas di situ, dan hal apa saja yang dilarang," tambahnya.
Kerinci, yang dibeli bersama KM Kambuna (selesai Januari 1984),
dibangun di galangan kapal Jos L. Meyer, Jerman Barat. Kontrak
untuk pembangunan dua kapal ini berharga DM 223,2 juta atau Rp
61.380 juta (kurs waktu itu Rp 275). Pemerintah Jerman Barat,
yang bersedia mendukung pendanaan pembangunan kedua kapal itu,
menyalurkan bantuannya lewat fasilitas kredit ekspor berbunga 9%
dengan masa bebas bunga selama periode konstruksi, dan jangka
pengembalian utang 10 tahun.
Di luar dugaan, kontrak pembelian Kerinci dan Kambuna itu
ternyata bisa dikaitkan pula dengan kebijaksanaan imbal beli.
Demikian juga untuk dua kapal baru lagi sekelas Kerinci
(berhasil diturunkan dengan harga DM 219,2 juta) yang akan
dibangun pula oleh Jos Meyer. "Ada empat komoditi, antara lain
kayu lapis, yang akan dikaitkan dengan kebijaksanaan counter
trade itu," ujar S. Harsono, yang mewakili Menteri Muda Urusan
Peningkatan Penggunaan Barang Produksi Dalam Negeri, Ginanjar
Kartasasmita. Selain itu, pemerintah juga bisa menekan bunga
kredit ekspor untuk dua kapal terakhir, jadi 8,5% per tahun.
Sebagai kontraktor utama Jos Meyer diwajibkan menyerahkan
pengerjaan disain interior kepada sebuah tim, terdiri dari 15
orang ITB, pimpinan pelukis terkenal dari ITB, Srihadi.
Penentuan tombol lampu, dan pemilihan warna cat menyerupai kayu,
juga dilakukan kelompok ini. Pipa-pipa, dan atap baja kapal,
mereka tutup. Dengan cara itulah "kesan penumpang seolah berada
di dalam kapal akan hilang," ujar Srihadi. Suasana nyaman
seperti itu tentu tidak bakal ditemui di kamar-kamar kapal bekas
yang pernah akan dibeli dua buah dari Jepang, menyusul pembelian
Tampomas II. Tapi rencana itu tenggelam bersama karamnya
Tampomas II.
Tinggal soalnya bagaimana merawat benda-benda cantik di Kerinci
-- mengingat, di Indonesia, merawat lebih sulit ketimbang
membeli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini