Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni V. Panggabean mengatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 1.400 cryptocurrencies yang tersebar di dunia. Selain Bitcoin, lebih dari 1.400 cryptocurrencies yang beredar ini cukup terkenal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meski cukup populer, Bank Indonesia mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan transaksi virtual currency tersebut. "Yang terbanyak kapitalisasi pasarnya memang adalah Bitcoin, mencapai 33 persen," ujar Eni, di Gedung BI, Senin, 15 Januari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari 1.400 cryptocurrencies itu, menurut Eni, sejumlah nama yang populer selain Bitcoin (BTC) adalah Ethereum (ETH), Ripple (XRP), Bitcoin Cash (BCH), Cardano (ADA), NEM (XEM). Selain itu ada Litecoin (LTC), Stelar (XLM), IOTA (MIOTA), serta EOS dan yang lainnya.
Berdasarkan data Coinmarketcap per 13 Januari 2018, harga dari masing-masing sejumlah cryptocurrencies tersebut antara lain, Bitcoin US$ 14.622,90; Ethereum US$ 1.373,95; Ripple US$ 2; Bitcoin Cash US$ 2.722,73; Cardano US$0,89; NEM US$ 1,53; Litecoin US$ 251,17; Stelar US$ 0,67; IOTA US$ 4,06; dan EOS US$ 15,53.
Dari masing-masing cryptocurrencies tersebut, kapitalisasi pasar terbesar masih dipegang oleh Bitcoin, yakni mencapai sekitar 33 persen dari total kapitalisasi pasar sebesar US$752,542 miliar. Sementara total kapitalisasi pasar dari virtual currency yang ada di dunia saat ini mampu mencapai hingga sebesar US$752.542.886.784.
Kapitalisasi pasar dari Bitcoin mencapai sebesar US$ 246 miliar, disusul Ethereum sebesar US$ 133 miliar, Ripple US$ 79 miliar, Bitcoin Cash US$ 47 miliar, Cardano US$ 23 miliar. Adapun kapitalisasi pasar dari NEM US$ 14 miliar, Litecoin US$ 14 miliar, Stelar US$ 12 miliar, IOTA US$ 11 miliar, dan EOS US$ 10 miliar.
Bank Indonesia sebeumnya menegaskan bahwa virtual currency termasuk Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Pelarangan ini di antaranya karena pemilikan virtual currency dinilai sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab. Sleain itu tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble).
Tak hanya itu, Bitcoin dianggap rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, BI memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency.
BI melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency, salah satunya Bitcoin. Jasa sistem pembayaran yang dimaksud adalah prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana.