Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA KABAR Keluarga Eka Tjipta Widjaja? Di tengah himpitan utang yang mengepungnya dari segala penjuru, BPPN telah datang pada konglomerat ini sebagai juru selamat. Sedemikian dramatik langkah BPPN ini sehingga badan penyehatan perbankan itu tampaknya lebih sering berfungsi sebagai penyelamat konglomerat ketimbang dokter spesialis bagi sektor perbankan.
Untuk BII, BPPN telah setuju untuk menukar utang Grup Sinar Mas senilai US$ 1,4 miliar (setara Rp 13,3 triliun dengan kurs Rp 9.500 per dolar) dengan obligasi rekap. Alasan BPPN adalah: solusi itu merupakan konsekuensi dari kesepakatan IMPA (Investment Management Performance Agreement) tanggal 28 Mei 1999. Perjanjian antara keluarga Widjaja dan BPPN itu memang menyebut kredit ke grup terkait pada bank peserta rekapitalisasi (BII) harus diselesaikan paling lambat 20 Mei 2001. Untuk itu, keluarga Widjaja telah setuju menyerahkan jaminan aset senilai 145 persen dari jumlah kredit, plus jaminan pribadi dari Eka Tjipta Widjaja. Namun, yang tetap dipertanyakan ialah, mengapa penyelesaiannya mesti melalui asset swap? Sadarkah BPPN bahwa skema ini bisa berbalik jadi perangkap yang menjerumuskan pemerintah?
Soalnya, ada sejumlah keanehan dan ancaman kerugian buat pemerintah yang mencuat dari skema pertukaran aset itu. Misalnya saja soal status kredit Sinar Mas di BII. Sejumlah pejabat pemerintah, termasuk Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia, Siti Ch. Fajriah, menyatakan utang Sinar Mas itu tergolong kredit lancar. Dengan kata lain, barter kredit dengan obligasi rekap itu ibarat menukar permata dengan berlian. Keduanya sama-sama untung dan tak ada yang dirugikan. Benarkah? Jawabnya, tidak.
Alasannya, bisnis Sinar Mas saat ini sudah kembang-kempis. Arus kasnya hanya cukup untuk membayar bunga pinjaman. Betul, Simon Subrata, konsultan Sinar Mas dari Ernst & Young, menyebut ekspor mereka mencapai US$ 2 miliar per tahun. Tapi jangan lupa, saat ini konglomerasi bisnis Eka Tjipta Widjaja itu sedang dililit utang raksasa (US$ 12 miliar-US$ 13 miliar di luar negeri, plus US$ 1,4 miliar di dalam negeri). Tak kurang dari US$ 1,9 miliar utang pokoknya akan jatuh tempo tahun ini, dan US$ 1,8 miliar lagi jatuh tempo tahun depan. Sementara itu, bunga pinjaman dan kupon obligasi yang harus dibayar tahun ini mencapai US$ 800 juta.
Dengan kinerja seperti itu, bagaimana BI menggolongkan utang Sinar Mas ke BII sebagai utang lancar? Angka-angka itu saja sudah mengisyaratkan, cepat atau lambat, kredit Sinar Mas pasti macet. Peraturan bank sentral sendiri menyebutkan, "Kredit lancar, kalau tak diragukan lagi akan menjadi macet, harus dihitung sebagai kredit macet." Direktur Riset SocGen Securities, Lin Che Wei, sampai geleng-geleng kepala, karena, "Bagaimana mungkin untuk bisnis yang sekarat masih ada orang yang mau meminjamkan uangnya?"
Selain kerentanan bisnis Sinar Mas, BII sendiri menurut Che Wei tergolong bank bermasalah karena pernah melakukan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Atas dasar itu, BII tak layak mendapat fasilitas obligasi rekap. Tapi pejabat Sinar Mas menilai pembengkakan kredit BII bukan pelanggaran, melainkan pelampauan BMPK. Alasan mereka, di masa lalu ada peraturan bahwa anak perusahaan yang sudah go public tak dihitung sebagai perusahaan afiliasi. Belakangan ketentuan itu diubah. Akibatnya, BMPK BII pun langsung terlampaui.
Untuk memastikan ada-tidaknya pelanggaran BMPK memang diperlukan penelitian lebih saksama. Tapi, secara sederhana terlihat, kredit Rp 13,3 triliun di BII itu sangat besar. Umpama saja kenaikan jumlah kredit itu disebabkan oleh melonjaknya nilai dolar sebesar 400 persen, maka di masa lalu utang BII sudah mencapai Rp 3,3 triliun. Nah, angka itu tetap jauh di atas BMPK BII, yang mestinya cuma Rp 800 miliar (20 persen dari modal BII yang Rp 4 triliun). Dengan demikian, mestinya status BII dialihkan dari bank rekap menjadi bank yang diambil alih atau bank take-over (BTO).
Seperti kata Che Wei, BPPN sudah menganakemaskan BII dan melakukan diskriminasi terhadap bank-bank lain. Sikap pilih kasih BPPN juga terlihat pada keringanan yang diberikan BPPN ke BII untuk memperpanjang waktu pembayaran utang BII dari dua tahun menjadi tiga tahun, dan mengubah pembayaran bunga dari 25 persen menjadi 2,5 persen. "Penanganan macam itu tipikal officer loan, pokoknya asal jangan sampai kredit itu meledak pada saat dia menjabat," Che Wei menyindir.
Pernyataan bahwa obligasi rekap itu tak membebani anggaran (APBN) juga sangat patut diragukan. Kendati Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo menyebut obligasi rekap itu obligasi lama dan dipindahkan "dari satu perusahaan ke perusahaan lain"--kabarnya, obligasi rekap BII itu berasal dari Bank Danamon dan Bank Mandiri--bukan berarti pemerintah akan terbebas dari konsekuensinya.
Apakah untuk menambal BII, obligasinya baru atau lama, yang pasti pemerintah tetap berisiko menanggung beban bunga. Bahkan, kalau tak waspada, juga utang pokoknya. Apalagi harga dua komoditi andalan Sinar Mas--kertas dan bubur kertas serta minyak sawit--sedang jatuh di pasar internasional. Padahal pendapatan dari kedua mata dagangan itulah yang kelak dipakai untuk membayar bunga dan menebus obligasi rekap tadi.
Saat ini saja, pemerintah sudah kesulitan membayar bunga obligasi rekap sebesar Rp 425 triliun, yang di tahun anggaran 2001 jumlahnya mencapai Rp 57 triliun. Jumlah ini setara dengan 3,7 persen GDP kita. Tambahan obligasi rekap BII itu jelas akan semakin membebani pundak rakyat. Lagi pula, pola penggunaan obligasi lama itu tak pernah dilakukan sebelumnya. Jelas, ini diluar rencana, dan anehnya secara istimewa bisa dinikmati oleh BII.
Tapi, BII sendiri juga akan menanggung dampak barter kredit dan obligasi rekap itu. Sebab, ditukarnya kredit dengan obligasi akan membuat pendapatan bunga BII merosot. Saat ini, dari aset kredit yang dimilikinya, BII memperoleh pendapatan bunga sebesar 18 persen. Sementara itu, pendapatan bunga obligasi hanya 12-13 persen. Berarti ada selisih kerugian 5 persen yang harus ditanggung oleh BII. Padahal, jumlah kredit yang dialihkan cukup besar, mencapai 80 persen (Rp 13,3 triliun dari total kreditnya yang Rp 17 triliun). Ada yang menyimpulkan, pola asset swap ini hanya akan menunda kebangkrutan BII.
Jangan pula lupa, pola itu menimbulkan masalah hukum yang pelik. Berbeda dengan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), tempat debitornya merupakan pribadi-pribadi, dalam pola asset swap, peminjamnya adalah perusahaan ditambah jaminan pribadi dari pemilik. Masalah akan bertambah rumit bila perusahaan itu tercatat di bursa, karena setiap keputusan penting harus melalui RUPS dan meminta persetujuan kreditor lain di luar BPPN.
Kalaupun ada yang agak menenteramkan, hal itu ialah bahwa pola asset swap atau pertukaran aset itu belum final. Pihak Sinar Mas masih getol melakukan lobi untuk minta persetujuan berbagai pihak, termasuk DPR. Pekan lalu mereka mengundang beberapa anggota Komisi IX DPR dan pejabat BPPN untuk bertemu di Hotel Grand Hyatt. Tapi kesepakatan bulat belum juga tercapai. Setelah pertemuan, sikap Ketua Komisi IX Benny Pasaribu, yang semula menolak obligasi rekap, agak melunak. Namun, ia bersikukuh pada pendapat bahwa utang Sinar Mas di BII merupakan kredit macet (non-performing loan). Jadi, "Kendati BII harus diselamatkan, keluarga Widjaja harus hengkang dari sana," ujarnya tegas. Ia pun berupaya memagari lobi Sinar Mas dengan pernyataan bahwa skema barter itu harus tetap melalui sidang pleno DPR.
Menghadapi perlawanan keras DPR, pemerintah tentulah tak akan bersikap sembarangan. Menteri Prijadi Praptosuhardjo berucap bahwa pemerintah mempertimbangkan pola lain selain asset swap, misalnya restrukturisasi utang. Yang jelas, pemerintah, kata Prijadi, terus berupaya mencari alternatif dengan risiko terkecil. Senada dengan Prijadi, anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Felia Salim mengaku, pihaknya masih terus mengkaji soal kredit BII di Sinar Mas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi.
Acuan KKSK dalam masalah itu menurut Felia ada dua. Pertama, mengamankan banknya dari keterpurukan. Pengamanan perlu karena pemerintah akan menderita rugi besar bila BII, yang pernah direkap Rp 8,7 triliun, akhirnya ambruk. Kedua, menghindari penambahan modal pemerintah. Kalaupun pola barter utang dengan obligasi rekap diambil, pemerintah tidak akan menalangi utang Sinar Mas. "Persepsi bailout atau menyelamatkan grup adalah persepsi yang tidak akurat," kata Felia.
Sikap untuk tak lagi ngotot menambal utang Sinar Mas di BII tentu patut diacungi jempol. Tapi patut juga dipertanyakan, mengapa pemerintah tak berpegang pada aturannya sendiri untuk menyelesaikan masalah utang debitor. Bukankah selama ini ada pilihan penyelesaian utang lewat pola penjaminan atau PKPS (penyelesaian kewajiban pemegang saham)? Mengapa pemerintah tak memilih salah satu cara itu untuk menangani utang Sinar Mas?
Bila pemerintah masih mencoba berimprovisasi, hasilnya bisa ditebak. Yang keluar adalah skema yang tak jelas jenis kelaminnya: bukan pola penjaminan, bukan pula pola PKPS. Atau, dalam olok-olok Lin Che Wei, "Itu skema banci." Atau skema istimewa, barangkali? Skema jenis itu niscaya hanya akan mengundang prasangka terhadap pemerintah dan kecemburuan dari sesama debitor.
Nugroho Dewanto, I.G.G. Maha Adi, Dwi Wiyana, Agus Hidayat
>Kesepakatan Awal Pembayaran Utang Grup Sinar Mas Rp 13,7 Triliun di BII (sebelum BPPN menawarkan asset swap ) | |
Angsuran I sebesar 10%: Rp 1,37 triliun | Harus dibayar 31 Maret 2001 |
Angsuran II sebesar 15%: Rp 2,05 triliun | Harus dibayar 30 September 2001 |
Angsuran III sebesar 25%: Rp 3,42 triliun | Harus dibayar 31 Maret 2002 |
Angsuran IV sebesar 50%: Rp 6,85 triliun | Harus dibayar 30 September 2002 | Sumber: berbagai sumber |