Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Sosok Sri Mulyani, Lulusan Amerika yang Ingin Mengabdi ke Negara

Sri Mulyani bakal menjadi menteri keuangan untuk ketiga kalinya.

22 Oktober 2019 | 18.36 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bermain dengan anak-anak sekolah dasar dalam peluncuran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019. Tempo/Hendartyo Hanggi
material-symbols:fullscreenPerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bermain dengan anak-anak sekolah dasar dalam peluncuran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019. Tempo/Hendartyo Hanggi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menjabat sebagai menteri keuangan pada periode pemerintahan kedua. Kabar tersebut disampaikan langsung oleh Sri Mulyani setelah dipanggil oleh Jokowi ke Istana Kepresidenan pada hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

“Khusus untuk saya, kata Bapak Presiden, diperbolehkan untuk menyampaikan jabatan menteri keuangan,” kata dia kepada wartawan di Istana, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu juga, kata dia, Jokowi memberikan arahan terhadap apa saja yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam periode pemerintahan kedua ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu, seperti apa sebenarnya sosok Sri Mulyani?

Sri Mulyani lahir di Tanjung Karang (kini Bandang Lampung), Provinsi Lampung pada 26 Agustus 1962. Setelah menamatkan jenjang SMA, ia yang saat itu berumur 19 tahun diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (sejak 19 Februari 2015 berubah nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Ia pun lulus dengan gelar Sarjana Ekonomi di usianya yang sekitar 24 tahun atau pada tahun 1986.

Setelah menyelesaikan gelar sarjana ini, Sri Mulyani tercatat menjadi asisten dosen di fakultas tersebut. Dalam masa-masa menjadi pengajar inilah, Sri melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat pasca-sarjana di University of Illinois Urbana Champaign di Amerika Serikat. Ia masuk tahun 1988 dan lulus pada usia 28 tahun (1990) dengan gelar Master of Science of Policy Economics.

Dua tahun berikutnya, ia menyelesaikan pendidikan doktor dan memperoleh gelar Ph.D of Economics di kampus yang sama. Sri pun menjadi seorang doktor pada pada usia 30 tahun (1992). Setelah menyelesaikan tiga jenjang akademik tersebut, karir sebagai pengajar pun juga tak bisa hilang dari sosok Sri Mulyani. Di kampus keduanya tersebut, ia kembali menjadi pengajar dengan menjabat sebagai asisten profesor dari tahun 1990 hingga 1992.

Di Universitas Indonesia yang menjadi kampus pertamanya, Sri Mulyani masih terus mengajar para mahasiswa S1, S2, hingga S3. Tahun 1996, ia bahkan menjadi pejabat struktural di Universitas Indonesia dengan menjadi Kepala Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik. Di tahun-tahun ini pula, Sri Mulyani mulai masuk ke pemerintahan, meski bukan sebagai pejabat eselon, tapi tenaga ahli.

Sri Mulyani juga menjadi Staf Ahli Bidang Analisis Kebijaksanaan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang kala itu dipimpin Ginandjar Kartasasmita, ayah dari Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus tak lain adalah Menteri Sosial sekaligus rekan kerja Sri Mulyani di kabinet pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Pada 1998, Indonesia berada dalam fase gejolak krisis ekonomi. Sri Mulyani yang kala itu berusia 36 tahun, masih membantu pemerintah. Ia menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan, Bidang Keuangan dan Moneter. Di UI, Sri juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI hingga tahun 2001.

Gejolak krisis ekonomi pun lewat. Indonesia telah melewati fase reformasi. Di tahun-tahun tersebut, 2001 hingga 2002, Sri mulai berkarir sebagai pengajar dan profesional di Amerika Serikat. Ia menjadi dosen tamu di Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University hingga konsultan USAID (US Agency for International Development). Berbagai karir di Indonesia dan Amerika Serikat inilah yang kemudian mengantarkan Sri Mulyani, pada Oktober 2002, menjadi Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional atau IMF mewakili 12 negara di Asia Tenggara.

September 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY terpilih menjadi presiden Indonesia keenam. Sri Mulyani pun dipercaya SBY untuk menjadi Kepala Bappenas. Sri Mulyani pulang ke Indonesia karena menyanggupinya. Sehingga untuk pertama kali, ia resmi menjadi pejabat pemerintah. Desember 2005, Sri dipindahkan sebagai Menteri Keuangan. Tiga tahun di sana, Sri naik level dengan menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Juni 2008.

Di tahun-tahun inilah, Sri menjadi komandan bagi Indonesia menghadapi gelombang resesi ekonomi global. Lewat sejumlah kebijakan, indonesia pun berhasil melewatinya tanpa terkena dampak buruk. Setelah fase-fase sulit tersebut dilewati, Sri Mulyani kembali dipercaya sebagai menteri keuangan oleh SBY. Sebab, SBY kembali terpilih untuk menjadi presiden kedua kalinya dan dilantik pada 20 Oktober 2009.

Sri Mulyani hanya menyelesaikan tugasnya kurang dari setahun. Ia mengundurkan diri karena terpilih menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia atau World Bank pada 1 Juni 2010. Ia pergi ke Amerika Serikat dan meninggalkan Indonesia. Nama Sri Mulyani pun hanya muncul sesekali di pemberitaan, salah satunya ketika penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sri Mulyani, langsung di Amerika pada pertengahan 2013.

Juli 2016, untuk kedua kalinya Sri Mulyani kembali pulang karena ditunjuk menjadi pembantu presdien. Ia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo, presiden ketujuh Republik Indonesia sebagai menteri keuangan, posisi yang pernah Ia pegang dahulu. Jabatan ini pun ia pegang sampai saat ini, sampai ditunjuk kembali di posisi yang sama oleh Jokowi pada hari ini, Selasa, 22 Oktober 2019.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Majalah Tempo pernah bertanya kepada Sri Mulyani, apa yang membuat dirinya memutuskan pulang ke Indonesia, sekaligus melepaskan jabatan bergengsi di Bank Dunia.

Wanita yang kini berusia 57 tahun ini, saat itu menjawab, “secara profesional, saya merasa sudah meraih sesuatu dan berkontribusi banyak di Bank Dunia. Saya sudah enam tahun, dan menjabat direktur pelaksana di bawah dua Presiden Bank Dunia yang berbeda. Jadi saya mulai bertanya apa lagi tahap dalam kehidupan saya.”

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus