Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengungkapkan akar persoalan dari sengkarut tarif ojek online adalah status pengemudi ojol yang hanya dijadikan sebagai mitra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Padahal kondisinya tidak setara, sehingga tak seharusnya disebut mitra," ujar Lily saat dihubungi Tempo, Kamis, 8 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menjelaskan yang diinginkan oleh ojol adalah jaminan kepastian upah yang layak setiap bulannya. Sehingga, ia menuntut pemerintah untuk menetapkan status pengemudi ojol sebagai Pekerja Tetap sesuai UU Ketenagakerjaan.
Menurutnya, pemerintah dapat belajar dari negara lain yang telah mengatur bahwa ojol berstatus sebagai pekerja tetap, seperti yang terjadi di Eropa dan Malaysia.
Selain itu, ia menuntut agar kesejahteraan driver ojek online perempuan juga diperhatikan. Misalnya berhak untuk mendapatkan cuti haid, melahirkan, maupun keguguran. Sehingga saat cuti, ojol perempuan tidak kehilangan pendapatannya.
"Juga driver supaya tidak diperas tenaganya karena dipaksa kerja lebih dari delapan jam dari pagi hingga malam tanpa uang lembur," kata dia.
Dengan status sebagai pekerja tetap, pengemudi ojol menurut Lily akhirnya bisa berhak bersuara melalui perundingan bersama dengan perusahaan dalam menentukan aturan terkait kesejahteraan ojol. "Tidak seperti saat ini yang setiap keputusan ditentukan sepihak oleh perusahaan angkutan online," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Driver Online, Taha Syafariel juga mengungkapkan sejak awal aspirasi yang digaungkan oleh mitra pengemudi adalah pembuatan regulasi setara Undang-undang untuk melindungi hak-hak mitra pengemudi ojek online.
Adapun pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan pun menilai ojek online harus segera diakui secara resmioleh pemerintah sebagai transportasi publik. Menurutnya, hal itu harus didorong agar hak-hak mitra pengemudi bisa betul-betul dilindungi oleh negara. Terlebih saat ini situasinya semakin mendesak karena mitra pengemudi ojek online sudah berjumlah jutaan dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Azas mengatakan secara yuridis, pemerintah baru bisa masuk jika ada regulasi yang mengatur ojek online sebagai transportasi publik. Maka, perlu ada pembicaraan serius dengan para stakeholders.
Baca Juga: Pengemudi Ojek Online Protes Potongan ke Aplikator Terlalu Besar: Tidak Akan Mensejahterakan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.